Prolog
INFLASI ialah suatu kondisi dimana kuantitas uang yang beredar lebih tinggi dibanding kuantitas
barang. Inflasi dapat pula diartikan sebagai kondisi dimana volume permintaan (demand)
lebih tinggi dari volume penawaran (supply). Pada gilirannya
kondisi ini menyebabkan menurunnya nilai mata uang sekaligus meningkatkan harga
barang. Sebab, secara teoritis, jika kuantitas uang beredar lebih tinggi dari
tingkat produksi barang, atau volume permintaan lebih tinggi dari volume
penawaran, maka berarti dunia ekonomi sedang mengalami kelangkaan barang yang
pada gilirannya menaikkan harga barang. [1]
Di
indonesia kelangkaan barang lumayan sering terjadi. Misalnya kelangkaan bahan
bakar minyak (BBM), pupuk, sembakau dan produk-produk sejenis yang menjadi
kebutuhan khlayak umum (public goods). Dan biasanya, jika demikian,
harga barang yang dimaksud melonjak naik. Pada saat yang sama kondisi ini
menjadi momentum yang sangat menguntungkan bagi produsen. Bahkan, bisa jadi,
kondisi ini menjadi moment idola sekaligus yang difavoritkan oleh para
produsen.
Namun
masalahnya, ketika kondisi ekonomi sedang mengalami inflasi yang secara
otomatis harga barang melonjak tinggi, ada oknum-oknum tertentu yang mencoba
bermain curang dangan cara melakukan “makar ekonomi”. Pihak ini, dengan
sengaja, memborong dan kemudian menimbun barang yang pada saat itu menjadi
incaran publik. Sehingga, ketika barang yang pada awalnya sudah langka berubah status
menjadi “sangat langka”, dan barangpun menjadi sangat mahal. Selanjutnya,
ketika harga barang mencapai puncak ketinggiannya, mereka melepaskan
barang-barang yang sudah ditimbun guna meraup keuntungan yang lebih besar.
Sebagai agama yang universal, yang memberlakukan
kemaslahatan tidak hanya bagi satu pihak, Islam memiliki aturan tersendiri dalam
hal penimbunan barang. Dalam Islam penimbunan barang untuk kepentingan kelompok
tertentu, dengan mengabaikan kepentingan kelompok lain yang juga membutuhkan,
hukumnya adalah haram oleh karena tindakan tersebut dipandang sebagai suatu
kezaliman dan kecurangan. Islam menyebut praktek seperti ini dengan istilah ihtikâr.
Definisi Ihtikar
Secara etomologi ihtikâr berarti menimbun,
sedangkan menurut pengertian termenologis ihtikâr adalah
“menimbun barang yang public goods (menjadi kebutuhan umum) yang dibeli
pada saat harga barang tersebut naik, untuk dijual denga harga tinggi melebihi
harga pasar.” Dan, seperti telah disinggung di atas, hukum ihtikâr
sendiri adalah haram.[2]
Namun demikian keharaman ihtikâr harus
memenuhi beberapa ketentuan berikut, antara lain: (1) harus diperoleh dengan
cara membeli, bukan hasil panen atau menerima hibah dari orang lain, (2) barang
yang ditimbun harus dibutuhkan oleh masyarakat umum, bukan barang yang
dibutuhkan dalam keadaan tertentu atau yang menjadi konsumsi masyarakat
tertentu, 3) barang tersebut dibeli ketika harganya melonjak tinggi (melebihi
harga normal di pasaran), bukan ketika harganya sedang stabil, dan (4) ada
tujuan untuk dijual kembali dengan harga yang lebih tinggi dari harga pasar,
bukan untuk konsumsi pribagi atau dijual kembali dengan harga normal.[3] Dengan melihat definisi dan beberapa
ketentuan ini, maka praktek penimbunan yang sering terjadi di tanah air adalah
tepat untuk diharamkan oleh karena penimbunan tersebut dilakukan ketika kondisi
ekonomi tengah mengalami infalasi.
Berbeda halnya jika salah satu dari beberapa elemen ini tidak
terpenuhi, maka hukum ihtikâr tidak diharamkan. Misalnya
seseorang menimbun barang yang ia peroleh dari hasil panen, atau menimbun
barang yang menjadi konsumsi masyarakat tertentu atau dalam keadaan tertentu,
atau barang yang ditimbun dibeli ketiga harga pasar sedang stabil, dan atau barang
yang ditimbun ditujukan untuk konsumsi pribadi atau dijual kembali dengan harga
yang tidak lebih tinggi dari harga pasar.[4]
Barang-Barang yang Haram
Ditimbun
Ulama sepakat bahwa ihtikâr hukumnya haram.
Namun demikian ulama memberikan rambu-rambu tertentu menyangkut masalah barang
yang haram untuk ditimbun. Menurut madzhab Hanafi, asy-Syafi'i dan Hanbali,
barang yang haram ditimbun adalah makanan pokok yang menjadi kebutuhan umum,
baik itu berupa makanan pokok manusia atau makanan pokok untuk hewan ternak.
Sedangkan untuk selain makanan pokok, hukum menimbunnya tidaklah diharamkan.
Jika mengikuti pendapat tiga ulama ini, penimbunan pupuk,
minyak, gula dll. yang tidak termasuk makanan pokok, hukumnya tidak haram. Sementara,
kebutuhan masyarakat terhadap barang-barang tersebut juga sangat tinggi
dikarenakan barang-barang yang dimaksud sudah menjadi elemen penting dalam kehidupan
mereka.[5] Maka barangkali, untuk menyikapi masalah penimbunan
barang-barang yang tidak termasuk makanan pokok seperti BBM dll., kita perlu
merujuk pada madzhab Maliki. Dalam madzhab Maliki keharaman penimbunan tidak
dikhusukan pada makanan pokok saja. Menurut madzhab ini semua jenis barang yang
menjadi kebutuhan umum (public goods), baik berupa makanan pokok atau
bukan, hukumnya haram ditimbun. Sehingga, dengan mengikuti madzhab ini, penimbun
(muhtakîr)
tidak bisa terhindar dari jeratan hukum haram. Di samping itu pendapat ini juga
akan memudahkan pemerintah untuk memberi sanksi pada mereka yang melakukan
kelicikan berupa ihtikâr.[6]
Dampak Terhadap Stabilitas
Ekonomi
Seperti yang telah disinngung di atas, bahwa ihtikâr
hukumnya haram. Sebab praktek ihtikâr ini mengandung kecurangan,
ketidak-adilan dan sangat membahayakan terhadap stabilitas ekonomi. Dengan
adanya ihtikâr, itu berarti hanya ada satu pihak yang sangat
diuntungkan (dan pihak ini termasuk minoritas) degan mengorbankan pihak
mayoritas. Dan ini adalah masalah ketidak-adilan dalam masalah ekonomi, padahal
Islam memberikan porsi yang seimbang antara kepentingan umum (mayoritas) dan
kepentingan pribadi (minoritas). Disamping mengandung ketidak-adilan, ihtikâr
juga menyebabkan krisis yang sangat fatal dan sangat mengancam stabilitas
ekonomi. Ihtikâr juga menyebabkan kesulitan bagi orang lain serta
menyempitkan ruang gerak mereka untuk memeperoleh kebutuhannya.[7]
Tindakan Pemerintah
Pihak pemerintah memiliki peranan yang sangat penting
untuk menghentikan aktivitas penimbunan. Dalam hal ini pemerintah harus
merekomendasikan pelaku ihtikâr untuk menjual barang yang
ditimbun yang melibihi kadar kebutuhannya dan keluarganya. Jika rekomendasi ini
tidak diindahkan, maka pemerintah harus memberikan terguran. Jika tindakan
kedua ini juga tidak diindahkan, maka pemerintah berhak untuk menahan dan memberi
sanksi kepada muhtakir (penimbun) sesuai dengan kebijakan
pemerintah. Tindakan ini diupayakan untuk membuat jera si muhtakir.
Di samping itu, pemerintah juga harus memaksa muhtakir untuk
menjual barang timbunannya. Jika perintah ini juga tidak dilaksanakan, maka
hakim (pemerintah) boleh menjual barang timbunan secara paksa dengan harga
standar pasar. Bahkan, jika pemerintah khawatir terhadap terjadinya kelaparan
bagi masyarakat, pemerintah boleh mengambil secara paksa barang yang ditimbun
untuk kemudian didistribusikan kepada masyarakat sampai keadaan menjadi stabil.
Dengan catatan, ketika kondisi masyarakat sudah kembali stabil, pihak
pemerintah mengganti barang timbunan milik muhtakir tadi. Sebab,
kondisi darurat hanya memperbolehkan untuk mengambil barang, tetapi tidak
menggugurkan kewajiban untuk dhâman. Sehingga dalam hal ini pemerintah
tetap wajib mengganti barang yang diambilnya.[8]
Ancaman Bagi Penimbun
Ketika itu Sayyidina Umar menjabat sebagai Khalifah. Saat
keluar menuju masjid, beliau mendapati makanan-makanan digelar di depan masjid.
“Untuk apa makanan ini?” tanya Umaar t. Rakyatnya menjawab: “Ini adalah makanan yang diimpor
untuk kita.” “Mudah-mudahan Allah U
memberkahi makanan ini serta orang yang mengimpornya.” Lanjut Umar t. Setelah itu, sebagian dari rakyat Umar t bercerita bahwa makanan-makanan tersebut adalah barang
yang sebelumnya telah ditimbun oleh seseorang bernama Furukh dan seorang budak.
Ketika dua laki-laki itu akhirnya dipanggil dan diklarifikasi oleh Umar t, dua laki-laki tersebut menjawab: “Kami membeli
barang-barang itu dengan harta kami kemudian kami menjualnya.” Umar t menukas: “Aku mendengar Rasulullah r bersabda, “Barangsiapa menimbun makanan orang Islam, maka
Allah U akan
mengujinya dengan penyakit kusta dan kebangkrutan.” (HR. Ibnu Majah)
Dalam Hadis yang lain Rasulullah r bersabda: ”Orang yang mendatangkan (mengimpor)
barang dari daerah lain, maka ia akan
mendapatkan rizki. Sementara orang yang menimbun barang akan mendapatkan laknat
(dari Allah U)."
(HR. Ibnu Majah)
Cukuplah dua Hadis ini sebagai ancaman bagi mereka yang
lebih mementingkan kebutuhannya sendiri dengan cara mengabaikan kepentingan
saudaranya yang juga membutuhkan.
Catatan: Artikel ini pernah dipublikasikan oleh Buletin Istinbat, salah satu buletin terbitan Pondok Pesantren Sidogiri.
[1] ___, Al-Mufashshal
fi Ahkamir Riba, juz 1, hal. 40 (maktabah asy-Syamilah edisi kedua)
[2] Al-Jamal, Syaikh Sulaiman, Hasyiah al-Jamal 'ala
al-Manhaj, juz 5, hal. 537 (maktabah asy-Syamilah edisi kedua)
[3] Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh al-Islâmy wa Adillatuhu, juz
4, hal. 238 (maktabah asy-Syamilah edisi kedua)
[4] Asy-Syarwani, Abdul Hamid Makky, Al-Ubbadiy, Ahmad bin
Qasim, Hawâsyi asy-Syarwani wa al-Ubbâdiy, juz 4, hal. 317 (maktabah asy-Syamilah edisi kedua)
[5] Opcit, Al-Fiqh al-Islâmy wa Adillatuhu, juz 4,
hal. 238
[6] Ibid.
[7] Ar-Ramli, Syamsuddin Muhammad Abi al-Abbas Ahmad bin Hamzah
Ibnu Syihabuddin, Nihâyah al-Muhtâj ilâ Syarh al-Minhâj,
juz 3, hal. 472 (maktabah asy-Syamilah edisi kedua)
[8] Opcit, Al-Fiqh al-Islâmy wa Adillatuhu, juz 4,
hal. 239, lihat juga dalam Ad-Darru al-Mukhtâr, juz 6, hal. 399
Tidak ada komentar:
Posting Komentar