Minggu, 12 Mei 2013

Pengaruh Ihtikar Terhadap Stabilitas Ekonomi





 oleh: Achmad Shiddiq


Prolog
INFLASI ialah suatu kondisi dimana kuantitas uang yang beredar lebih tinggi dibanding kuantitas barang. Inflasi dapat pula diartikan sebagai kondisi dimana volume permintaan (demand) lebih tinggi dari volume penawaran (supply). Pada gilirannya kondisi ini menyebabkan menurunnya nilai mata uang sekaligus meningkatkan harga barang. Sebab, secara teoritis, jika kuantitas uang beredar lebih tinggi dari tingkat produksi barang, atau volume permintaan lebih tinggi dari volume penawaran, maka berarti dunia ekonomi sedang mengalami kelangkaan barang yang pada gilirannya menaikkan harga barang. [1]
Di indonesia kelangkaan barang lumayan sering terjadi. Misalnya kelangkaan bahan bakar minyak (BBM), pupuk, sembakau dan produk-produk sejenis yang menjadi kebutuhan khlayak umum (public goods). Dan biasanya, jika demikian, harga barang yang dimaksud melonjak naik. Pada saat yang sama kondisi ini menjadi momentum yang sangat menguntungkan bagi produsen. Bahkan, bisa jadi, kondisi ini menjadi moment idola sekaligus yang difavoritkan oleh para produsen.
Namun masalahnya, ketika kondisi ekonomi sedang mengalami inflasi yang secara otomatis harga barang melonjak tinggi, ada oknum-oknum tertentu yang mencoba bermain curang dangan cara melakukan “makar ekonomi”. Pihak ini, dengan sengaja, memborong dan kemudian menimbun barang yang pada saat itu menjadi incaran publik. Sehingga, ketika barang yang pada awalnya sudah langka berubah status menjadi “sangat langka”, dan barangpun menjadi sangat mahal. Selanjutnya, ketika harga barang mencapai puncak ketinggiannya, mereka melepaskan barang-barang yang sudah ditimbun guna meraup keuntungan yang lebih besar.
Sebagai agama yang universal, yang memberlakukan kemaslahatan tidak hanya bagi satu pihak, Islam memiliki aturan tersendiri dalam hal penimbunan barang. Dalam Islam penimbunan barang untuk kepentingan kelompok tertentu, dengan mengabaikan kepentingan kelompok lain yang juga membutuhkan, hukumnya adalah haram oleh karena tindakan tersebut dipandang sebagai suatu kezaliman dan kecurangan. Islam menyebut praktek seperti ini dengan istilah ihtikâr.

Definisi Ihtikar
Secara etomologi ihtikâr berarti menimbun, sedangkan menurut pengertian termenologis ihtikâr adalah “menimbun barang yang public goods (menjadi kebutuhan umum) yang dibeli pada saat harga barang tersebut naik, untuk dijual denga harga tinggi melebihi harga pasar.” Dan, seperti telah disinggung di atas, hukum ihtikâr sendiri adalah haram.[2]
Namun demikian keharaman ihtikâr harus memenuhi beberapa ketentuan berikut, antara lain: (1) harus diperoleh dengan cara membeli, bukan hasil panen atau menerima hibah dari orang lain, (2) barang yang ditimbun harus dibutuhkan oleh masyarakat umum, bukan barang yang dibutuhkan dalam keadaan tertentu atau yang menjadi konsumsi masyarakat tertentu, 3) barang tersebut dibeli ketika harganya melonjak tinggi (melebihi harga normal di pasaran), bukan ketika harganya sedang stabil, dan (4) ada tujuan untuk dijual kembali dengan harga yang lebih tinggi dari harga pasar, bukan untuk konsumsi pribagi atau dijual kembali dengan harga normal.[3] Dengan melihat definisi dan beberapa ketentuan ini, maka praktek penimbunan yang sering terjadi di tanah air adalah tepat untuk diharamkan oleh karena penimbunan tersebut dilakukan ketika kondisi ekonomi tengah mengalami infalasi.
Berbeda halnya jika salah satu dari beberapa elemen ini tidak terpenuhi, maka hukum ihtikâr tidak diharamkan. Misalnya seseorang menimbun barang yang ia peroleh dari hasil panen, atau menimbun barang yang menjadi konsumsi masyarakat tertentu atau dalam keadaan tertentu, atau barang yang ditimbun dibeli ketiga harga pasar sedang stabil, dan atau barang yang ditimbun ditujukan untuk konsumsi pribadi atau dijual kembali dengan harga yang tidak lebih tinggi dari harga pasar.[4]

Barang-Barang yang Haram Ditimbun
Ulama sepakat bahwa ihtikâr hukumnya haram. Namun demikian ulama memberikan rambu-rambu tertentu menyangkut masalah barang yang haram untuk ditimbun. Menurut madzhab Hanafi, asy-Syafi'i dan Hanbali, barang yang haram ditimbun adalah makanan pokok yang menjadi kebutuhan umum, baik itu berupa makanan pokok manusia atau makanan pokok untuk hewan ternak. Sedangkan untuk selain makanan pokok, hukum menimbunnya tidaklah diharamkan.
Jika mengikuti pendapat tiga ulama ini, penimbunan pupuk, minyak, gula dll. yang tidak termasuk makanan pokok, hukumnya tidak haram. Sementara, kebutuhan masyarakat terhadap barang-barang tersebut juga sangat tinggi dikarenakan barang-barang yang dimaksud sudah menjadi elemen penting dalam kehidupan mereka.[5] Maka barangkali, untuk menyikapi masalah penimbunan barang-barang yang tidak termasuk makanan pokok seperti BBM dll., kita perlu merujuk pada madzhab Maliki. Dalam madzhab Maliki keharaman penimbunan tidak dikhusukan pada makanan pokok saja. Menurut madzhab ini semua jenis barang yang menjadi kebutuhan umum (public goods), baik berupa makanan pokok atau bukan, hukumnya haram ditimbun. Sehingga, dengan mengikuti madzhab ini, penimbun (muhtakîr) tidak bisa terhindar dari jeratan hukum haram. Di samping itu pendapat ini juga akan memudahkan pemerintah untuk memberi sanksi pada mereka yang melakukan kelicikan berupa ihtikâr.[6]

Dampak Terhadap Stabilitas Ekonomi
Seperti yang telah disinngung di atas, bahwa ihtikâr hukumnya haram. Sebab praktek ihtikâr ini mengandung kecurangan, ketidak-adilan dan sangat membahayakan terhadap stabilitas ekonomi. Dengan adanya ihtikâr, itu berarti hanya ada satu pihak yang sangat diuntungkan (dan pihak ini termasuk minoritas) degan mengorbankan pihak mayoritas. Dan ini adalah masalah ketidak-adilan dalam masalah ekonomi, padahal Islam memberikan porsi yang seimbang antara kepentingan umum (mayoritas) dan kepentingan pribadi (minoritas). Disamping mengandung ketidak-adilan, ihtikâr juga menyebabkan krisis yang sangat fatal dan sangat mengancam stabilitas ekonomi. Ihtikâr juga menyebabkan kesulitan bagi orang lain serta menyempitkan ruang gerak mereka untuk memeperoleh kebutuhannya.[7]

Tindakan Pemerintah
Pihak pemerintah memiliki peranan yang sangat penting untuk menghentikan aktivitas penimbunan. Dalam hal ini pemerintah harus merekomendasikan pelaku ihtikâr untuk menjual barang yang ditimbun yang melibihi kadar kebutuhannya dan keluarganya. Jika rekomendasi ini tidak diindahkan, maka pemerintah harus memberikan terguran. Jika tindakan kedua ini juga tidak diindahkan, maka pemerintah berhak untuk menahan dan memberi sanksi kepada muhtakir (penimbun) sesuai dengan kebijakan pemerintah. Tindakan ini diupayakan untuk membuat jera si muhtakir. Di samping itu, pemerintah juga harus memaksa muhtakir untuk menjual barang timbunannya. Jika perintah ini juga tidak dilaksanakan, maka hakim (pemerintah) boleh menjual barang timbunan secara paksa dengan harga standar pasar. Bahkan, jika pemerintah khawatir terhadap terjadinya kelaparan bagi masyarakat, pemerintah boleh mengambil secara paksa barang yang ditimbun untuk kemudian didistribusikan kepada masyarakat sampai keadaan menjadi stabil. Dengan catatan, ketika kondisi masyarakat sudah kembali stabil, pihak pemerintah mengganti barang timbunan milik muhtakir tadi. Sebab, kondisi darurat hanya memperbolehkan untuk mengambil barang, tetapi tidak menggugurkan kewajiban untuk dhâman. Sehingga dalam hal ini pemerintah tetap wajib mengganti barang yang diambilnya.[8]

Ancaman Bagi Penimbun
Ketika itu Sayyidina Umar menjabat sebagai Khalifah. Saat keluar menuju masjid, beliau mendapati makanan-makanan digelar di depan masjid. “Untuk apa makanan ini?” tanya Umaar t. Rakyatnya menjawab: “Ini adalah makanan yang diimpor untuk kita.” “Mudah-mudahan Allah U memberkahi makanan ini serta orang yang mengimpornya.” Lanjut Umar t. Setelah itu, sebagian dari rakyat Umar t bercerita bahwa makanan-makanan tersebut adalah barang yang sebelumnya telah ditimbun oleh seseorang bernama Furukh dan seorang budak. Ketika dua laki-laki itu akhirnya dipanggil dan diklarifikasi oleh Umar t, dua laki-laki tersebut menjawab: “Kami membeli barang-barang itu dengan harta kami kemudian kami menjualnya.” Umar t menukas: “Aku mendengar Rasulullah r bersabda, “Barangsiapa menimbun makanan orang Islam, maka Allah U akan mengujinya dengan penyakit kusta dan kebangkrutan.” (HR. Ibnu Majah)
Dalam Hadis yang lain Rasulullah r bersabda: ”Orang yang mendatangkan (mengimpor) barang  dari daerah lain, maka ia akan mendapatkan rizki. Sementara orang yang menimbun barang akan mendapatkan laknat (dari Allah U)." (HR. Ibnu Majah)
Cukuplah dua Hadis ini sebagai ancaman bagi mereka yang lebih mementingkan kebutuhannya sendiri dengan cara mengabaikan kepentingan saudaranya yang juga membutuhkan.


Catatan: Artikel ini pernah dipublikasikan oleh Buletin Istinbat, salah satu buletin terbitan Pondok Pesantren Sidogiri.

[1] ___, Al-Mufashshal  fi Ahkamir Riba, juz 1, hal. 40 (maktabah asy-Syamilah edisi kedua)
[2] Al-Jamal, Syaikh Sulaiman, Hasyiah al-Jamal 'ala al-Manhaj, juz 5, hal. 537 (maktabah asy-Syamilah edisi kedua)
[3] Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh al-Islâmy wa Adillatuhu, juz 4, hal. 238 (maktabah asy-Syamilah edisi kedua)
[4] Asy-Syarwani, Abdul Hamid Makky, Al-Ubbadiy, Ahmad bin Qasim, Hawâsyi asy-Syarwani wa al-Ubbâdiy, juz 4, hal. 317 (maktabah asy-Syamilah edisi kedua)
[5] Opcit, Al-Fiqh al-Islâmy wa Adillatuhu, juz 4, hal. 238
[6] Ibid.
[7] Ar-Ramli, Syamsuddin Muhammad Abi al-Abbas Ahmad bin Hamzah Ibnu Syihabuddin, Nihâyah al-Muhtâj ilâ Syarh al-Minhâj, juz 3, hal. 472 (maktabah asy-Syamilah edisi kedua)
[8] Opcit, Al-Fiqh al-Islâmy wa Adillatuhu, juz 4, hal. 239, lihat juga dalam Ad-Darru al-Mukhtâr, juz 6, hal. 399

Tidak ada komentar:

Posting Komentar