Lembaga Keuangan Syariah (selanjutnya ditulis LKS) adalah badan keuangan
yang menganut prinsip syariah yang berperan menghimpun dana dari masyarakat
untuk disalurkan kepada masyarakat. Sejak awal berdirinya LKS telah berkomitmen
untuk senantiasa konsisten dalam menganut prinsip-prinsip syariah dalam
bertransaksi dengan nasabah. Itulah sebabnya mengapa nama-nama akad yang
diaplikasikan di LKS tidak jauh berbeda dengan nama-nama akad yang telah
dirumuskan oleh para ahli fikih, baik yang klasik maupun kontemporer.
Namun demikian, akad-akad yang diaplikasikan di LKS telah dipadukan dengan sistem dan management keuangan modern. Sehingga,
sekalipun secara subtansi akad-akad tersebut tetap mengikuti karakterstik akad
yang sudah baku, hanya saja dalam segi tampilan dan aplikasinya akad-akad
tersebut tidak sesederhana akad yang kita kenal dalam literatur-literatur fikih
klasik.
Sebagai contohnya adalah akad hiwâlah
yang oleh LKS diaplikasikan dalam bentuk jasa transfer. Secara etemologis
transfer berarti 1) pindah atau beralih tempat; 2) pengalihan pemain ke
perkumpulan lain dengan imbalan uang (KBBI). Dengan demikian, mengacu pada
makna transfer secara leksikal ini, kata “mentransfer” dapat diartikan dengan 1) memindahkan (mengalihkan) sesuatu dari satu tempat ke tempat lain atau dari seseorang ke orang lain; dan 2) menyerahkan atau mengalihkan (hak
milik, uang, dsb.) kepada orang lain (KBBI). Sementara itu pengertian dari kata hiwâlah sendiri ialah mengalihkan. Dalam termenologi fikih hiwâlah berarti mengalihkan hak hutang dari satu pihak
ke pihak yang lain.[1]
Dari dua defenisi yang telah disebutkan dia
atas, terdapat persamaan antara pengertian transfer dengan pengertian hiwâlah. Sehingga, masih mengacu pada pengertian di atas, tidak menjadi masalah
apabila hiwâlah diaplikasikan dalam bentuk jasa transfer. Hanya saja, apakah antara jasa transfer dan hiwâlah memiliki sisi kesamaan dalam masalah definisi
saja, namun tidak sampai menyentuh pada
syarat dan rukunnya? sementara syarat-rukun merupakan
elemen yang paling vital untuk menentukan absah tidaknya sebuah akad? Mari kita
teliti detailnya.
Rukun Hiwâlah
Menurut kalangan syafi’iyah rukun hiwâlah ada enam, yaitu: 1) muhîl
(yang mengalihkan tanggungan hutang); 2) muhtâl (penerima
pengalihan tanggungan hutang); 3) muhâl ‘alaih
(pihak yang dialihkan); 4) dainâni
(dua jenis hutang, yaitu: hutang muhîl kepada muhtâl dan hutang
muhâl ‘alaih kepada muhîl); 5) îjâb; dan 6) qabûl.[2]
Syarat-syarat Hiwâlah
Adapun
syarat-syarat akad hiwâlah adalah sebagai berikut: 1) muhîl dan muhtâl
harus ahliah at-tabarru’ dan tahu terdahap jenis, kadar dan sifat
hutang dialihkan. Disamping itu, diharuskan adanya kesepakatan dari muhîl dan muhtâl; 2) hutang yang dialihkan
harus lâzim[3]; 3) kadar hutangnya muhîl
kepada Muhtâl, dan hutang Muhâl ‘alaih kepada muhîl harus sama; 4) îjâb dan qabûl harus memenuhi
ketentuan-ketentuan shîghat seperti dalam transaksi jual-beli.[4]
Macam-macam
Hiwâlah
Menurut madzhab
Hanafi akad hiwâlah terbagi dalam dua kategori; 1) hiwâlah
muqayyadah; dan 2) hiwâlah muthlaqah. Hiwâlah
muqayyadah ialah mengalihkan harta yang menjadi tanggungan
muhâl ‘alaih atau mengalihkan harta yang berada di kekuasaan muhâl
‘alaih.[5] Selanjutnya,
hiwâlah muqayyadah itu sendiri terbagi menjadi tiga kategori:
1.
Mengalihkan
harta yang menjadi hutang muhâl
‘alaih. Praktek macam ini juga disebut dengan hiwâlah
muqayyadah bid dain (akad hiwâlah yang dibatasi dengan pengalihan hutang).
2.
Mengalihkan benda milik muhîl
yang ditipkan kepada muhâl
‘alaih. Praktek seperti ini disebut dengan hiwâlah
muqayyadah bi al-‘ain al-mûda’ah
(akad hiwâlah yang dibatasi dengan pengalihan barang titipan yang dititipkan kepada muhâl ‘alaih).
3.
Mengalihkan
harta milik muhîl
yang menjadi tanggungan muhâl
‘alaih. Praktek ini juga disebut dengan hiwâlah
muqayyadah bi al-‘ain al-madhmûn.[6] (akad hiwâlah yang dibatasi dengan pengalihan barang yang
menjadi tanggungjawab muhâl
‘alaih).
Adapun yang
dimaksud hiwâlah muthlaqah ialah mengalihkan pembayaran hutang di
mana pembayaran tersebut tidak dibatasi oleh keharusan menggunakan uang/benda
yang berada pada muhâl ‘alaih, baik yang berbentuk hutang, titpan
maupun tanggungan. Dalam prakteknya, akad hiwâlah muthlaqah dapat
diterapkan dengan dua model berikut, antara lain:
1.
Muhîl
tidak memiliki piutang kepada muhâl
‘aliah, kemudian muhîl
memerintahkan muhâl ‘aliah
untuk membayarkan hutangnya kepada pihak lain.
2.
Muhîl
memiliki piutang kepada muhâl
‘aliah. Kemudian, muhîl
memerintahkan muhâl ‘aliah
untuk membayarkan hutangnya kepada muhtâl.
Dalam hal ini, muhîl
tidak memberikan ketentuan kepada muhâl
‘aliah apakah ia harus membayar hutang
tersebut melalui hutangnya atau harta yang lain.
Perlu dicatat,
bahwa dalam hiwâlah muthlaqah pihak muhâl ‘alaih
tidak harus memiliki hutang kepada muhîl. Kaerana itu, dalam akad
hiwâlah muthlaqah tetap sah dilakukan sekalipun muhâl
‘alaih tidak memiliki tanggungan apapun, baik yang berbentuk hutang,
titipan maupun tanggungan.[7]
Jasa Tansfer dengan Hiwâlah
Sebagaimana
telah disinggung di atas, bahwa di LKS akad hiwâlah diaplikasikan dalam bentuk jasa transfer.
Padahal tidak semua nasabah yang menggunakan jasa transfer memiliki piutang
kepada LKS. Di samping itu, tidak semua pengguna jasa transfer memiliki
tanggungan hutang kepada pihak yang menerima kiriman via jasa transfer.
Sementara, di sisi lain, pengertian hiwâlah itu
sendiri ialah pengalihan tanggungan hutang dari satu pihak ke pihak lain, di
samping harus memenuhi ketentuan bahwa dalam transaksi tersebut harus ada dua
jenis hutang yang sudah lâzim.
Berangkat dari kenyataan ini, menurut hemat penulis
tidak tepat menggolongkan semua jasa transfer di LKS dalam kategori akad hiwâlah. Belum lagi jika
kita melihat kenyataan di lapangan di mana pada umumnya pihak LKS selalu
mengambil upah atas jasa yang diberikan kepada nasabah. Karena itu, untuk
menghindari generalisasi akad, maka jasa transfer di LKS perlu diperinci
sebagai berikut:
1.
Jika
LKS tidak memiliki tanggungan kepada nasabah pengguna jasa transfer, baik dalam
bentuk hutang maupun titipan (baca: tabungan), maka jasa transfer bisa
menggunakan akad hiwâlah muthlaqah,
dengan catatan pengguna jasa transsfer memiliki hutang kepada penerima transfer
(baca: muhtâl).
2.
Jika
LKS memiliki “tanggungan” kepda pengguna jasa transfer, baik dalam bentuk
hutang, titipan (baca: tabungan) maupun tanggungan (selain hutang), maka jasa
transfer bisa menggunakan akad hiwâlah
muqayyadah (apabila pembayarannya ditentukan) atau
dengan akad hiwâlah muthlaqah
(apabila pembayarannya tidak ditentukan). Dengan catatan penerima jasa transfer
memiliki piuntang kepada pengguna jasa transfer.
3.
Jika
penerima transfer tidak memiliki piutang kepada pengguna jasa transfer, maka
jasa transfer bisa menggunakan akad wakâlah
bi al-ujrah. Dan karena praktek ini menggunakan akad
wakâlah
bi al-ujrah, maka uang yang ditransfer harus uang
milik pengguna jasa transfer, tidak boleh diganti dengan uang milik LKS.
4.
Jika
antara penerima kiriman via jasa transfer tidak memiliki piuntang kepada muhîl dan LKS juga tidak memiliki
tanggungan kepada pengguna jasa transfer, maka jasa transfer tidak dapat
dikategorikan dalam kategori akad hiwâlah. walLâhu a’lam.
Catatan: artikel ini pernah dipublikasikan di Buletin Istinbat
[1] Ibnu Nujaim, Zainuddin, Bahrur
Râiq,
Bairut: Dar al-Makrifat, vol. VI, hal 266. Cet III, 1413 H/1993 M. Al-Anshari, Yahya
Zakiriya, Manhâj ath-Thullâb, Bairut: Dar al-Fikr,
vol. III, hal 370. tth
[3] Hutang yang sifatnya
mengikat; tanggungan hutang yang tidak bisa gugur (Bujairimi ‘alâ al-Khâtib,
vol. III, hal. 61
[4] Asy-Syirbini, Syaikh
Muhammad Khatib, Al-Iqnâ’ fî Halli alfâzhi Abî Syujâ’, Bairut: Dar al-Fikr,
vol. III, hal 90-93. tth. Al-Jamal, Syaikh Sulaiman, Bairut: Dar al-Fikr, vol.
III, hal 372. tth.
[7] Ibid, hal. 8 dan
23
Tidak ada komentar:
Posting Komentar