Minggu, 12 Mei 2013

Aplikasi Hiwâlah dalam Jasa Transfer

oleh: Achmad Shiddiq




Lembaga Keuangan Syariah (selanjutnya ditulis LKS) adalah badan keuangan yang menganut prinsip syariah yang berperan menghimpun dana dari masyarakat untuk disalurkan kepada masyarakat. Sejak awal berdirinya LKS telah berkomitmen untuk senantiasa konsisten dalam menganut prinsip-prinsip syariah dalam bertransaksi dengan nasabah. Itulah sebabnya mengapa nama-nama akad yang diaplikasikan di LKS tidak jauh berbeda dengan nama-nama akad yang telah dirumuskan oleh para ahli fikih, baik yang klasik maupun kontemporer.
Namun demikian, akad-akad yang diaplikasikan di LKS telah dipadukan dengan sistem dan management keuangan modern. Sehingga, sekalipun secara subtansi akad-akad tersebut tetap mengikuti karakterstik akad yang sudah baku, hanya saja dalam segi tampilan dan aplikasinya akad-akad tersebut tidak sesederhana akad yang kita kenal dalam literatur-literatur fikih klasik.
Sebagai contohnya adalah akad hiwâlah yang oleh LKS diaplikasikan dalam bentuk jasa transfer. Secara etemologis transfer berarti 1) pindah atau beralih tempat; 2) pengalihan pemain ke perkumpulan lain dengan imbalan uang (KBBI). Dengan demikian, mengacu pada makna transfer secara leksikal ini, kata “mentransfer” dapat diartikan dengan 1) memindahkan (mengalihkan) sesuatu dari satu tempat ke tempat lain atau dari seseorang ke orang lain; dan 2) menyerahkan atau mengalihkan (hak milik, uang, dsb.) kepada orang lain (KBBI). Sementara itu pengertian dari kata hiwâlah sendiri ialah mengalihkan. Dalam termenologi fikih hiwâlah berarti mengalihkan hak hutang dari satu pihak ke pihak yang lain.[1]
Dari dua defenisi yang telah disebutkan dia atas, terdapat persamaan antara pengertian transfer dengan pengertian hiwâlah. Sehingga, masih mengacu pada pengertian di atas, tidak menjadi masalah apabila hiwâlah diaplikasikan dalam bentuk jasa transfer.  Hanya saja, apakah antara jasa transfer dan hiwâlah memiliki sisi kesamaan dalam masalah definisi saja, namun tidak sampai menyentuh pada syarat dan rukunnya? sementara syarat-rukun merupakan elemen yang paling vital untuk menentukan absah tidaknya sebuah akad? Mari kita teliti detailnya.


Rukun Hiwâlah
Menurut kalangan syafi’iyah rukun hiwâlah ada enam, yaitu: 1) muhîl (yang mengalihkan tanggungan hutang); 2) muhtâl (penerima pengalihan tanggungan hutang); 3) muhâl ‘alaih (pihak yang dialihkan); 4) dainâni (dua jenis hutang, yaitu: hutang muhîl kepada muhtâl dan hutang muhâl ‘alaih kepada muhîl); 5) îjâb; dan 6) qabûl.[2]


Syarat-syarat Hiwâlah
Adapun syarat-syarat akad hiwâlah adalah sebagai berikut: 1) muhîl dan muhtâl harus ahliah at-tabarru’ dan tahu terdahap jenis, kadar dan sifat hutang dialihkan. Disamping itu, diharuskan adanya kesepakatan dari muhîl dan muhtâl; 2) hutang yang dialihkan harus lâzim[3]; 3) kadar hutangnya muhîl kepada Muhtâl, dan hutang Muhâl ‘alaih kepada muhîl harus sama; 4) îjâb dan qabûl harus memenuhi ketentuan-ketentuan shîghat seperti dalam transaksi jual-beli.[4]


Macam-macam Hiwâlah
Menurut madzhab Hanafi akad hiwâlah terbagi dalam dua kategori; 1) hiwâlah muqayyadah; dan 2) hiwâlah muthlaqah. Hiwâlah muqayyadah ialah mengalihkan harta yang menjadi tanggungan muhâl ‘alaih atau mengalihkan harta yang berada di kekuasaan muhâl ‘alaih.[5] Selanjutnya, hiwâlah muqayyadah itu sendiri terbagi menjadi tiga kategori:
1.      Mengalihkan harta yang menjadi hutang muhâl ‘alaih. Praktek macam ini juga disebut dengan hiwâlah muqayyadah bid dain (akad hiwâlah yang dibatasi dengan pengalihan hutang).
2.      Mengalihkan benda milik muhîl yang ditipkan kepada muhâl ‘alaih. Praktek seperti ini disebut dengan hiwâlah muqayyadah bi al-‘ain al-mûda’ah (akad hiwâlah yang dibatasi dengan pengalihan barang titipan yang dititipkan kepada muhâl ‘alaih).
3.      Mengalihkan harta milik muhîl yang menjadi tanggungan muhâl ‘alaih. Praktek ini juga disebut dengan hiwâlah muqayyadah bi al-‘ain al-madhmûn.[6] (akad hiwâlah yang dibatasi dengan pengalihan barang yang menjadi tanggungjawab muhâl ‘alaih).
Adapun yang dimaksud hiwâlah muthlaqah ialah mengalihkan pembayaran hutang di mana pembayaran tersebut tidak dibatasi oleh keharusan menggunakan uang/benda yang berada pada muhâl ‘alaih, baik yang berbentuk hutang, titpan maupun tanggungan. Dalam prakteknya, akad hiwâlah muthlaqah dapat diterapkan dengan dua model berikut, antara lain:
1.      Muhîl tidak memiliki piutang kepada muhâl ‘aliah, kemudian muhîl memerintahkan muhâl ‘aliah untuk membayarkan hutangnya kepada pihak lain.
2.      Muhîl memiliki piutang kepada muhâl ‘aliah. Kemudian, muhîl memerintahkan muhâl ‘aliah untuk membayarkan hutangnya kepada muhtâl. Dalam hal ini, muhîl tidak memberikan ketentuan kepada muhâl ‘aliah apakah ia harus membayar hutang tersebut melalui hutangnya atau harta yang lain.
Perlu dicatat, bahwa dalam hiwâlah muthlaqah pihak muhâl ‘alaih tidak harus memiliki hutang kepada muhîl. Kaerana itu, dalam akad hiwâlah muthlaqah tetap sah dilakukan sekalipun muhâl ‘alaih tidak memiliki tanggungan apapun, baik yang berbentuk hutang, titipan maupun tanggungan.[7]


Jasa Tansfer dengan Hiwâlah
Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa di LKS akad hiwâlah diaplikasikan dalam bentuk jasa transfer. Padahal tidak semua nasabah yang menggunakan jasa transfer memiliki piutang kepada LKS. Di samping itu, tidak semua pengguna jasa transfer memiliki tanggungan hutang kepada pihak yang menerima kiriman via jasa transfer. Sementara, di sisi lain, pengertian hiwâlah itu sendiri ialah pengalihan tanggungan hutang dari satu pihak ke pihak lain, di samping harus memenuhi ketentuan bahwa dalam transaksi tersebut harus ada dua jenis hutang yang sudah lâzim.
Berangkat dari kenyataan ini, menurut hemat penulis tidak tepat menggolongkan semua jasa transfer di LKS dalam kategori akad hiwâlah. Belum lagi jika kita melihat kenyataan di lapangan di mana pada umumnya pihak LKS selalu mengambil upah atas jasa yang diberikan kepada nasabah. Karena itu, untuk menghindari generalisasi akad, maka jasa transfer di LKS perlu diperinci sebagai berikut:
1.      Jika LKS tidak memiliki tanggungan kepada nasabah pengguna jasa transfer, baik dalam bentuk hutang maupun titipan (baca: tabungan), maka jasa transfer bisa menggunakan akad hiwâlah muthlaqah, dengan catatan pengguna jasa transsfer memiliki hutang kepada penerima transfer (baca: muhtâl).
2.      Jika LKS memiliki “tanggungan” kepda pengguna jasa transfer, baik dalam bentuk hutang, titipan (baca: tabungan) maupun tanggungan (selain hutang), maka jasa transfer bisa menggunakan akad hiwâlah muqayyadah (apabila pembayarannya ditentukan) atau dengan akad hiwâlah muthlaqah (apabila pembayarannya tidak ditentukan). Dengan catatan penerima jasa transfer memiliki piuntang kepada pengguna jasa transfer.
3.      Jika penerima transfer tidak memiliki piutang kepada pengguna jasa transfer, maka jasa transfer bisa menggunakan akad wakâlah bi al-ujrah. Dan karena praktek ini menggunakan akad wakâlah bi al-ujrah, maka uang yang ditransfer harus uang milik pengguna jasa transfer, tidak boleh diganti dengan uang milik LKS.
4.      Jika antara penerima kiriman via jasa transfer tidak memiliki piuntang kepada muhîl dan LKS juga tidak memiliki tanggungan kepada pengguna jasa transfer, maka jasa transfer tidak dapat dikategorikan dalam kategori akad hiwâlah. walLâhu a’lam.
  
Catatan: artikel ini pernah dipublikasikan di Buletin Istinbat



[1] Ibnu Nujaim, Zainuddin, Bahrur Râiq, Bairut: Dar al-Makrifat, vol. VI, hal 266. Cet III, 1413 H/1993 M. Al-Anshari, Yahya Zakiriya, Manhâj ath-Thullâb, Bairut: Dar al-Fikr, vol. III, hal 370. tth
[2] Al-Anshari, Yahya Zakiriya, Manhâj ath-Thullâb, Bairut: Dar al-Fikr, vol. III, hal 371. tth
[3] Hutang yang sifatnya mengikat; tanggungan hutang yang tidak bisa gugur (Bujairimi ‘alâ al-Khâtib, vol. III, hal. 61
[4] Asy-Syirbini, Syaikh Muhammad Khatib, Al-Iqnâ’ fî Halli alfâzhi Abî Syujâ’, Bairut: Dar al-Fikr, vol. III, hal 90-93. tth. Al-Jamal, Syaikh Sulaiman, Bairut: Dar al-Fikr, vol. III, hal 372. tth.
[5] Ali Haidar, Durar al-Hukkâm Sarh Majallah al-Ahkâm, vol. II, hal. 7-8
[6] Ali Haidar, Durar al-Hukkâm Sarh Majallah al-Ahkâm, vol. II, hal. 7-8
[7] Ibid, hal. 8 dan 23

Tidak ada komentar:

Posting Komentar