Minggu, 12 Mei 2013

BAI’ AL-ÎNAH: Model Transaksi Kapitalis Bersarung

oleh: Achmad Shiddiq




Kajian Pembuka
Para pengkaji teori ushul fikih tentu tahu bahwa syariah terdiri dari dua demensi, yakni dimensi lahir (yang lumrah disebut dengan hukum fikih) dan dimensi batin (yang lumrah disebut dengan maqâshid asy-syarîah). Dimensi batin bertujuan menciptakan maslahah dan menghilangkan mafsadah bagi semua elemen, baik individu, masayarakat maupun negara. Dan untuk itu diperlukan adanya sebuah wadah yang menampung dan sekaligus menyalurkan apa yang menjadi tujuan demensi batin tersebut. Oleh karena itu, wadah yang menampung keberadaan demensi batin haruslah sesuai dengan eksistensi demensi batin itu sendiri. Sehingga, dengan demikian, tidak ada ketimpangan antara dimensi lahir dengan dimensi batin.
Namun masalahnya, masih ada saja hukum fikih (yang menjadi wadah sekaligus penyalur dari tujuan batin) yang hanya menekankan pada aspek lahiriyahnya saja, sementara tujuan hakiki yang menopang eksistensi hukum itu sendiri nihil. Meskipun hal semacam ini boleh dibilang wajar, karena titik tekan hukum fikih adalah sisi lahir, namun demikian hal semacam ini sangat perlu disayangkan. Mengingat, keberadaan kulit menjadi tak berarti jika tidak pas dan sesuai dengan keberadaan “isi” yang menjadi dasar dari kulit itu sendiri.
Dalam kasus traknsaksi, ketimbangan kulit dan isi ini dapat kita contohkan dengan bai’ al-‘înah. Dilihat dari statusnya, bai’ al-‘înah merupakan salah satu jenis transaksi. Namun demikian, tujuan dari bai’ al-‘înah itu sendiri sama sekali bertentangan dengan tujuan transaksi. Sebab, bai’ al-‘înah hanya menjadi batu loncatan atau medium untuk melegalkan praktik riba yang jelas-jelas diharamkan.
Misalnya, Bapak Tomo membutuhkan uang sebesar Rp. 2.000.000.00,- dan untuk itu Bapak Tomo mendatangi Bapak Achmad dengan tujuan berhuntang. Selanjutnya, Bapak Achmad memberikan hutangan kepada Bapak Tomo sebesar Rp. 2.000.000.00,- Nah, jika dalam kasus ini Bapak Achmad mengambil keuntungan dari Bapak Tomo sebesar 500.000.00,- sehingga kelak, jika sudah tiba tempo pembayaran, total uang yang dibayarkan oleh Bapak Tomo kepada Bapak Achmad adalah 2.500.000.00,- maka tentu saja praktik semcam ini tidak dapat dibenarkan oleh syariah. Sebab, praktik ini tergolong praktik riba hutang-piutang (baca; riba qardh) yang sangat dikecam oleh syariah. Nah, maka dari itu, agar tidak terjerumus dalam praktik riba dan tetap mendapatkan keuntungan, maka Bapak Achmad menempuh cara lain yang disebut dengan bai’ al-‘înah.

Definisi
Secara etemologis bai’ al-‘înah berarti pinjaman. Dalam termenologi fikih bai’ al-‘înah berarti menjual barang secara kredit kemudian membelinya lagi secara tunai dengan harga yang lebih murah dari harga penjualan. Bai’ al-‘înah juga dapat di definisikan dengan membeli barang secara tunai dan menjualnya lagi (kepada penjual pertama) secara kredit dengan harga yang lebih tinggi dari harga pembeliaan. Menurut Hanabilah, transaksi dengan model yang kedua ini tidak termasuk kategori bai’ al-‘înah. Namun demikian, hukum transaksi tersebut sama dengan bai’ al-‘înah. 
Menurut Malikiyah, selain dua definisi yang telah disebutkan di atas, bai’ al-‘înah dapat didefiniskan dengan membeli barang secara tunai kepada seseorang (baca: penjual pertama) untuk dijual kembali secara kredit kepada orang lain (pembeli kedua) dengan harga yang lebih mahal dari harga pembeliaan. Kemudian, pembeli kedua menjual barang tersebut secara tunai kepada penjual pertama dengan harga yang lebih murah dari harga pembeliannya kepada pembeli pertama.[1]

Ilustrasi
Pertama, misalnya Bapak Fulan menjual kendaraannya kepada Bapak Umar seharga Rp. 14.000.000 secara kredit. Selajnutnya, setelah kendaraan itu diserahkan, Bapak Fulan membeli lagi kendaraan tersebut seharga Rp. 13.000.000 dibayar tunai. [2]
Kedua, Bapak Fulan membeli kendaran Bapak Ahmad secara tunai dengan harga Rp. 20.000.000. kemudian Bapak Fulan menjual kendaraan yang sama secara kredit kepada Bapak Ahmad dengan harga Rp.22.000.000.
Ketiga, misalnya Bapak Fulan menjual kendaraannya kepada Bapak Yanto seharga Rp. 20.000.000 secara kredit. Kemudian Bapak Yanto menjual kendaraan tersebut kepada Bapak Sugiono seharga Rp. 18.000.000, dibayar tunai. Selanjutnya, Bapak Sugiono menjual kendaraan tadi kepada Bapak Fulan seharga Rp. 20.000.000. [3]
Dari ilustrasi di atas, maka jelaslah bahwa tujuan dari bai’ al-‘înah bukanlah menjual atau membeli barang. Tetapi, bai’ al-‘înah hanya dimaksudkan sebagai sarana untuk mendapatkan keuntungan yang tidak bisa dicapai dengan cara menghutangkan modal.

Hukum
Ulama fikih berbeda pendapat dalam menyikapi hukum bai’ al-‘înah. Menurut Hanabilah hukum bai’ al-‘înah adalah haram dan tidak sah. Sebab, menurut kelompok ini, bai’ al-‘înah merupakan kamuflase dari sebuah sistem yang bertujuan melegalkan riba. Dalam menyikapi hukum bai’ al-‘înah, kalangan Hanabilah berpedoman pada Hadis berikut:
“Dari Abi Ishaq, dari isterinya, Al-Aliyah bin Aifa’ bin Syurahbil, ia berkata, “Aku mendatangi Aisyah bersama budak ummu waladnya Zaid bin Arqam. Lalu budak Ummu waladnya Zaid berkata, “Aku menjual budak laki-laki Zaid kepada Al-Atha seharga 8.00 dirham. Kemudian aku membeli budak itu (dari Al-Atha) seharga 6.00 dirham”. Lalu Aisyah menukas, “Betapa jeleknya apa yang kamu jual. Dan betapa jeleknya apa yang kamu beli. Sampaikan kepada Zaid bin Arqam bahwa ia telah membatalkan jihadnya bersama Rasulullah r, kecuali dia bertaubat.” (HR. Al-Baihaqi).[4]
Kalangan Hanafiyah berbeda pendapat mengenai hukum bai’ al-‘înah. Menurut Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani hukum bai’ al-‘înah adalah haram. Sedangkan menurut Abu Yusuf hukumnya boleh.[5] Perselisihan ini terjadi di dalam bai’ al-‘înah yang dalam praktiknya hanya melibatkan dua orang. Akan tetapi, jika di dalam praktiknya melibatkan tiga orang, maka keduanya sepakat bahwa bai’ al-‘înah hukumnya boleh.
Menurut asy-Syafi’iyah bai’ al-‘înah tidak termasuk praktek jual-beli yang dilarang, baik dilakukan setelah menerima harga pada penjualan pertama atau sebelumnya, baik transaksi tersebut sudah menjadi kebiasaan ataupun tidak. Akan tetapi, menurut al-Ustadz Abu Ishaq al-Isfirayaini dan asy-Syaikh Abu Muhammad, jika transaksi tersebut sudah menjadi kebiasaan, maka transaksi yang kedua seolah-olah disyaratkan pada transaki pertama. Dengan demikian, maka transaksi (baca: jual-beli) yang pertama hukumnya tidak sah. Alhasil, menurut madzhab asy-Syafi’i bai’ al-‘înah tidak tergolong praktik jual-beli yang diharamkan. Namun demikian, memeraktikkan bai’ al-‘înah hukumnya makruh.[6]
Menurut madzhab Maliki (lihat model bai’ al-‘înah nomer 3) hukum bai’ al-‘înah adalah haram, dengan alasan bahwa bai’ al-‘înah menjadi peluang untuk melakukan riba.[7] Dalam teori ushul fikih, metode yang digunakan oleh Malikiyah ini dikenal dengan saddudz dzarîah, sebuah tindakan preventif yang diupayakan untuk menghindari sesuatu yang tidak diinginkan.

Kesimpulan
Dari beberapa poin yang telah diuraikan di atas dapat disimpulkan bahwa, secara lahiriyah bai’ al-‘înah termasuk dalam kategori transaksi jual-beli. Hanya saja, ditinjau dari aspek batin, semangat dan tujuan bai’ al-‘înah tidak jauh berbeda dengan praktik riba. Itulah sebabnya mengapa tiga imam madzhab (selain asy-Syafi’i) cenderung mengharamkan praktik tersebut. Sebab, pada dasarnya bai’ al-‘înah hanya bertujuan mendapatkan keuntungan dari praktik riba hutang-piutang yang secara tegas dilarang oleh agama. Pada intinya bai’ al-‘înah merupakan bagian dari hîlah yang diharamkan karena menjadi memberikan peluang untuk mengambil riba.
Perlu dicatat, sekalipun menurut kalangan syafi’iyah bai’ al-‘înah dihukumi sah namun makruh, maka perlu dicatat bahwa makruh itu sendiri merupakan larangan di dalam syariah. Hanya saja, sifat larangan tersebut tidak se-ekstream larangan dalam hukum haram. Oleh karena itu, akan lebih baik jika kita tidak menggunakan pendapat syafi’iyah tersebut.[8] Wallâhu a’lam bish-shawâb.
Achmad Siddiq S.F/IstinbaT


[1] An-Nawawi, Zakariya Yahya bin Syaraf, Raudhah ath-Thâlibin, vol. I, hal. 429. Muhammad Ulais, Minah al-Jalîl, Bairut: Dar al-Fikr, vol. V, hal. 102. Cetakan I: 1409 H/1989 M. Abdul Hamid Mahmud Thihmaz, vol. IV, hal. 29. Ibnu Qudamah, Muwaffiquddin Abdullah, Al-Kâfi fî Fiqh Imam Ahmad bin Hanbal, vol. II, hal. 14
[2] Al-Maqdisi, Ibnu Qudamah, Al-Kâfi, vol II, hal. 25
[3] Al-Bahrur Râiq, vol VI, hal. 256
[4] Opcit. Ibnu Qudamah, Muwaffiquddin Al-Maqdisi, vol II, hal. 16-17
[5] Radd al-Mukhtâr, vol V, hal. 405
[6] An-Nawawy, Zakariya Yahya bin Syaraf, Raudhah ath-Thâlibîn, vol I, hal. 429
[7] Ammar Talawy, Bahtsu Bai’ al-‘Înah, vol I, hal. 12
[8] Opcit. Zuhaily, Wahbah, vol I, hal. 191