Minggu, 12 Mei 2013

Menyakiti Anak Yatim, Mendustai Agama




Oleh: Achmad Shiddiq

)أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ فَذلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ وَلا يَحُضُّ عَلى طَعامِ الْمِسْكِينِ(
Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama
 Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. (QS. Al-Maa’uun [107]: 1-3).

Kajian Pembuka
Secara tekstual ayat di atas memberikan pemahaman bahwa yang dimaksud “pendusta agama” adalah mereka yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan terhadap orang miskin. Karena itu, merujuk pada pemahaman secara tekstual ini, siapa saja yang termasuk dalam subtansi ayat ini telah keluar dari agama Islam. Sebab, sebagaimana telah maklum, predikat “kufur” merupakan sanksi yang paling setimpal bagi seoarang pendusta agama (Islam).
Hanya saja, pemahaman semacam ini sangat sulit untuk diterima, sangat musykil. Sebab, kata “kufur” merupakan predikat yang sangat ekstrim yang umumnya berkaitan dengan masalah keyakinan. Sementara dua poin yang disebutkan dalam ayat di atas sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan keyakinan. Menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberik makan orang miskin hanya suatu pekerjaan yang bermuatan îdza’ (menyakiti) dan merugikan orang lain. Dan, sanksi yang paling berat untuk tindakan semcam ini adalah haram, tidak sampai kufur. Maka, pernyataan selanjutnya adalah: bagaimana mafhum yang benar dari ayat di atas? Mari kita kaji untuk medapatkan jawabannya.

Mendustai Agama
Para pakar tafsir saling silang pendapat mengenai arti ad-dîn pada ayat di atas. Imam ath-Thabari, dengan mengutip pendapat Ibnu Abbas, menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan kata ad-dîn dalam ayat di atas adalah mendustakan hukum-hukum Allah I. Selanjutnya, dengan mengutip riwayat dari Ibnu Juraih, Imam ath-Thabari menyatakan bahwa yang dimaksud kata ad-dîn dalam ayat tersebut adalah hisab (penghitungan amal).[1] Dan pendapat kedua ini, menurut al-Mawardi di dalam tafsirnya, an-Nukat wa al-‘Uyûn, adalah pendapat Ikrimah dan Mujahid. Al-Mawardi juga menambahkan bahwa arti kata ad-dîn pada ayat di atas adalah balasan, yakni pahala dan siksa.[2]
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa arti dari kata mendustakan agama adalah: 1) mendustakan hukum-hukum Allah; 2) mendustakan penghitungan amal; dan 3) mendustakan balasan, yaitu pahala dan siksa.
Selanjutnya, dengan mengacu pada pendapat ulama yang berbeda, tiga pendapat di atas dapat disatukan dalam satu titik temu, bahwa yang dimaksud mendustakan agama ialah “mendustakan agama Islam” yang adakalanya dengan mendustakan Tuhan, menginkari nubuwwah, mengingkari akhirat, atau syariah dan ajaran-ajaran Islam.[3]

Korelasi Ayat
Setelah memahami arti mendustakan agama, barangkali kita tertarik untuk mengajukan pertanyaan lanjutan, yaitu: apakah korelasi mafhum mendustakan agama dengan pernyataan setalahnya? Di dalam karyanya, Tafsîr al-Murâghi, Asy-Syaikh Ahmad Musthafa al-Muraghi menulis penjelasan sebagai berikut:
“Jika kamu tidak mengenal orang-orang yang mendustakan sesuatu yang ada di luar pancra indra mereka, maka ketahuilah mereka dengan sifat-sifatnya; (1) mereka adalah orang yang menghardik anak yatim. Mereka inilah para pendusta agama, yang suka mendepak anak yatim dengan sekeras-kerasnya ketika anak-anak yatim itu membutuhkan mereka. Demikian itu mereka lakukan atas dasar kesombongan dan penghinaan terhadap si yatim. Dan (2) mereka yang tidak memberikan dorongan kepada orang lain untuk memberi makan orang-orang miskin. Di samping itu, diri mereka sendiri juga sangat anti untuk memberi makan orang-orang miskin”.[4]

Epilog
Dari penjelasan ini, maka dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya klaim pendusta agama tidak ditujukan bagi mereka yang menghardik anam yatim dan tidak menganjurkan memberi makan kepada orang miskin. Tetapi, klaim yang sangat ekstrim tersebut ditujukan kepada mereka yang berani mendustakan ad-dîn yang mafhumnya masih diperselisihkan oleh para pakar tafsir. Namun yang jelas sebuah kezaliman yang dapat melukai hati anak yatim (yang termasuk di antara adalah menghardik) dan tidak menganjurkan orang lain untuk memberi makan orang miskin, menjadi semacam simpul-simpul atau indikasi akurat bahwa pelaku dari tindakan tersebut adalah seorang “pendusta agama”. walLâhu a’lamu bish shawâb.

Catatan: Tulisan ini pernah dimuat di Buletin IstinbaT, salah satu buletin terbitan Pondok Pesantren Sidogiri, edisi ke 18



[1] Ath-Thabari, Abu Jakfar Muhammad bin Jarir, Tafsîr ath-Thabari, vol.               XXIV, hal. 657
[2] Al-Mawardi, Abu al-Hasan Ali bin Muhammad, an-Nukat wa al-‘Uyûn, Lebanon: Dar  al-Kutub al-Ilmiah, vol. IV, hal. 461
[3] Ar-Razi, Fakhruddin, Mafâtih al-Ghaib, vol. XVII, hal. 227
[4] Al-Muraghi, asy-Syaikh Ahmad Mushthafa, Tafsîr al-Murâghi, vol. I, hal. 5577

Tidak ada komentar:

Posting Komentar