Oleh: Achmad Shiddiq
)أَرَأَيْتَ الَّذِي
يُكَذِّبُ بِالدِّينِ فَذلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ وَلا يَحُضُّ عَلى
طَعامِ الْمِسْكِينِ(
Tahukah
kamu (orang) yang mendustakan agama
Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. (QS. Al-Maa’uun [107]: 1-3).
Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. (QS. Al-Maa’uun [107]: 1-3).
Kajian
Pembuka
Secara tekstual ayat
di atas memberikan pemahaman bahwa yang dimaksud “pendusta agama” adalah mereka
yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan terhadap orang
miskin. Karena itu, merujuk pada pemahaman secara tekstual ini, siapa saja yang
termasuk dalam subtansi ayat ini telah keluar dari agama Islam. Sebab,
sebagaimana telah maklum, predikat “kufur” merupakan sanksi yang paling setimpal
bagi seoarang pendusta agama (Islam).
Hanya saja, pemahaman
semacam ini sangat sulit untuk diterima, sangat musykil. Sebab, kata “kufur”
merupakan predikat yang sangat ekstrim yang umumnya berkaitan dengan masalah
keyakinan. Sementara dua poin yang disebutkan dalam ayat di atas sama sekali
tidak ada sangkut-pautnya dengan keyakinan. Menghardik anak yatim dan tidak
menganjurkan memberik makan orang miskin hanya suatu pekerjaan yang bermuatan îdza’
(menyakiti) dan merugikan orang lain. Dan, sanksi yang paling berat untuk
tindakan semcam ini adalah haram, tidak sampai kufur. Maka, pernyataan
selanjutnya adalah: bagaimana mafhum yang benar dari ayat di atas? Mari kita
kaji untuk medapatkan jawabannya.
Mendustai
Agama
Para pakar tafsir
saling silang pendapat mengenai arti ad-dîn pada
ayat di atas. Imam ath-Thabari, dengan mengutip pendapat Ibnu Abbas,
menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan kata ad-dîn dalam
ayat di atas adalah mendustakan hukum-hukum Allah I. Selanjutnya,
dengan mengutip riwayat dari Ibnu Juraih, Imam ath-Thabari menyatakan bahwa
yang dimaksud kata ad-dîn dalam
ayat tersebut adalah hisab (penghitungan amal).[1]
Dan pendapat kedua ini, menurut al-Mawardi di dalam tafsirnya, an-Nukat wa
al-‘Uyûn, adalah
pendapat Ikrimah dan Mujahid. Al-Mawardi juga menambahkan bahwa arti kata ad-dîn pada
ayat di atas adalah balasan, yakni pahala dan siksa.[2]
Dari penjelasan di
atas, dapat disimpulkan bahwa arti dari kata mendustakan agama adalah:
1) mendustakan hukum-hukum Allah; 2) mendustakan penghitungan amal; dan 3) mendustakan
balasan, yaitu pahala dan siksa.
Selanjutnya, dengan
mengacu pada pendapat ulama yang berbeda, tiga pendapat di atas dapat disatukan
dalam satu titik temu, bahwa yang dimaksud mendustakan agama ialah “mendustakan
agama Islam” yang adakalanya dengan mendustakan Tuhan, menginkari nubuwwah,
mengingkari akhirat, atau syariah dan ajaran-ajaran Islam.[3]
Korelasi
Ayat
Setelah
memahami arti mendustakan agama, barangkali kita tertarik untuk
mengajukan pertanyaan lanjutan, yaitu: apakah korelasi mafhum mendustakan
agama dengan pernyataan setalahnya? Di dalam karyanya, Tafsîr al-Murâghi, Asy-Syaikh Ahmad Musthafa al-Muraghi menulis penjelasan
sebagai berikut:
“Jika kamu
tidak mengenal orang-orang yang mendustakan sesuatu yang ada di luar pancra
indra mereka, maka ketahuilah mereka dengan sifat-sifatnya; (1) mereka adalah
orang yang menghardik anak yatim. Mereka inilah para pendusta agama, yang suka
mendepak anak yatim dengan sekeras-kerasnya ketika anak-anak yatim itu
membutuhkan mereka. Demikian itu mereka lakukan atas dasar kesombongan dan penghinaan
terhadap si yatim. Dan (2) mereka yang tidak memberikan dorongan kepada orang lain
untuk memberi makan orang-orang miskin. Di samping itu, diri mereka sendiri
juga sangat anti untuk memberi makan orang-orang miskin”.[4]
Epilog
Dari
penjelasan ini, maka dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya klaim pendusta
agama tidak ditujukan bagi mereka yang menghardik anam yatim dan tidak
menganjurkan memberi makan kepada orang miskin. Tetapi, klaim yang sangat
ekstrim tersebut ditujukan kepada mereka yang berani mendustakan ad-dîn yang mafhumnya masih diperselisihkan oleh para pakar tafsir.
Namun yang jelas sebuah kezaliman yang dapat melukai hati anak yatim (yang
termasuk di antara adalah menghardik) dan tidak menganjurkan orang lain untuk
memberi makan orang miskin, menjadi semacam simpul-simpul atau indikasi akurat bahwa
pelaku dari tindakan tersebut adalah seorang “pendusta agama”. walLâhu a’lamu bish shawâb.
Catatan: Tulisan ini pernah dimuat di Buletin IstinbaT, salah satu buletin terbitan Pondok Pesantren Sidogiri, edisi ke 18
Catatan: Tulisan ini pernah dimuat di Buletin IstinbaT, salah satu buletin terbitan Pondok Pesantren Sidogiri, edisi ke 18
[2] Al-Mawardi, Abu al-Hasan
Ali bin Muhammad, an-Nukat wa al-‘Uyûn, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiah,
vol. IV, hal. 461
Tidak ada komentar:
Posting Komentar