Minggu, 12 Mei 2013

Pelaku Riba Kufur: Analisis Hikmah Riba Perspektif al-Ghazali

oleh: Achmad Shiddiq



Prolog
Riba merupakan salah satu jenis transaksi yang keharamannya diketahui secara aksiomatis dalam agama (‘ulima min ad-dîni bidh dharûrah). Penjelasan tentang keharaman transaksi riba ini-salah satunya- terdapat dalam surat al-Baqarah [2]: 275 dan juga Hadis Nabi r riwayat Imam Muslim.
Sebagai transaksi yang keharamannya telah diketahui secara aksiomatis dalam agama, maka tidak ada toleransi apapun yang dapat melegalesasi keharaman tersebut. Bahkan, siapa saja yang tidak menerima keharaman ini, ia bisa difonis kufur, alias keluar dari agama Islam.
Uniknya, Imam al-Ghazali menyatakan kufur bukan saja bagi mereka yang menginkari keharaman transaksi riba. Akan tetapi beliau juga memfonis kufur bagi siapa saja yang berani melakukan transaksi tersebut. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah: landasan apakah yang digunakan oleh al-Ghazali sehingga beliau memfonis kufur terhadap pelaku riba? Serta kufur yang bagaimanakah yang dimaksud oleh al-Ghazali dalam ungkapannya tersebut? Mari kita jawab pertanyaan ini.
Namun, sebelum kita sampai pada kesimpulan bahwa pelaku riba adalah kufur, sejenak mari kita kembali pada pembahasan tentang hakikat dan fungsi uang. Demikian ini agar kita betul-betul memahami kerangka dasar yang menopang tesis “pelaku riba kufur”.

Latar-belakang Kemunculan Uang
Pada zaman pra-barter manusia belum mengenal transaksi perdagangan. Kala itu tidak dikenal apa yang saat ini kita kenal dengan istilah transaksi. Pada zaman itu setiap individu memenuhi kebutuhan hidupnya masing-masing dalam bentuk dan jumlah yang sangat sederhana, sekadar memenuhi kebutuhan primernya saja. Mereka makan, berpakaian, serta bertempat tingaal dari hasil tangan mereka masing-masing atau melalui hasil swadaya.
Seiring perjalanan waktu, populasi manusia terus bertambah. Pada gilirannya situasi ini meningkatkan intensitas interaksi manusia serta meningkatnya kebutuhan. Sementara itu, pada saat yang sama, kebutuhan individu tidak bisa dipenuhi sendiri-sendiri. Oleh karena itu, guna saling melengkapi kebutuhan masing-masing, mereka membutuhkan transaksi dengan pihak lain. Kelak, transaksi pada periode ini dikenal dengan istilah barter, yakni tukar-menukar barang dengan barang yang lain.
Ciri khas barter adalah mencari orang yang memiliki barang yang dibutuhkan ketika transaksi akan dilaksanakan. Demikian ini juga berlaku untuk pihak kedua. Artinya orang kedua pun harus mau dan membutuhkan barang yang ditawarkan oleh pihak pertama. Misalnya, nelayan ikan yang membutuhkan sayur harus mencari petani sayur yang membutuhkan ikan. Demikian ini, dalam ilmu ekonomi dikenal sebagai double coincidence of wants (baca: dua keinginan ganda yang saling bertemu).
Pada perkembangan selanjutnya, setelah sekian lama hdiup dengan sistem transaksi barter, persoalanpun muncul, antara lain: 1) keinginan ganda terhadap suatu barang semakin langka sehingga menyulitkan orang-orang kala itu untuk melakukan transaksi barter, 2) kebutuhan dan keragaman hasil produksi manusia semakin meningkat. Demikian ini terjadi karena: pertama, kemajuan teknologi produksi; kedua, kebutuhan manusia yang berbeda-beda dalam waktu yang bersamaan. Faktor inilah yang melatar-belakangi umat manusia di sekitar abad 20 SM. menggunakan suatu logam sebagai alat tukar. Dan logam inilah yang kemudian dikenal sebagai “uang”.[1]
Dari penjelasan ini dapat dipahami bahwa diciptakannya uang adalah sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan umat manusia yang beragam, yang mana pada saat yang bersamaan keragaman kebutuhan tersebut tidak bisa terpenuhi jika harus terpaku pada sistem double coincidence of wants tadi. Jadi, dalam keadaan seperti ini, diciptakan uang sebagai alat transaksi formal merupakan alasan logis.

Hakikat & Fungsi Uang
Menurut al-Ghazali, dinar dan dirham[2] merupakan dua jenis  batu yang tidak memiliki kegunaan (baca: manfaat) secara esensial. Namun demikian, dua jenis batu mulia ini menjadi kebutuhan bagi banyak kalangan oleh karena umat manusia memiliki banyak sekali kebutuhan, baik yang bersifat primer maupun yang bersifat sekunder.[3]
Hal serupa juga dikemukakan oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyah. Menurutnya, alat tukar bukanlah komoditas yang menjadi tujuan secara esensial, ia hanya suatu sarana yang berfungsi mendapatkan komoditas atau jasa yang dibutuhkan oleh umat manusia. Jika alat tukar menjadi komoditas yang menjadi tujuan secara esensial, maka tatanan kehidupan umat manusia tidak akan berjalan stabil alias amburadul.[4]
Sebagaimana al-Ghzali dan Ibnu Qayyim al-Jauzaiyah, Ibnu Khladun mengemukakan pendapat yang sama. Ibnu Khaldun berpendapat bahwa emas dan perak berfungsi untuk mengukur nilai setiap sesuatu yang berharga, baik barang atau jasa.[5]
Dari pendapat tiga pakar ekonomi muslim ini dapat disimpulkan bahwa uang bukanlah suatu komoditas yang menjadi tujuan sekaligus menjadi kebutuhan bagi umat manusia. Ia hanya salah satu sarana yang mempermudah aktivitas ekonomi umat manusia dalam rangka memenuhi kebutuhannya dan sekaligus menjadi penyeimbang antara dua barang yang dipertukarkan di mana kadar dan nilainya tidak seimbang.
Dalam pandangan Islam, setiap sesuatu yang berfungsi sebagai uang, hanya berfungsi sebagai alat tukar dan satuan penghitung nilai. Ia bukan suatu komoditas yang dapat diperjual-belikan dengan kelebihan bunga baik secara langsung atau tidak. Lebih dari itu, uang tidak diperlukan secara esensial. Ia hanya diperlukan untuk membeli barang lain sehingga kebutuhan umat manusia dapat terpenuhi. Jadi, dalam Islam, uang hanya memiliki dua fungsi: 1) sebagai alat tukar (Medium of exchange), dan 2) sebagai alat pengukur nilai (Unit of account).
Berbeda dengan Islam, teori ekonomi modern menyatakan bahwa selain berfungsi sebagai alat tukar dan alat pengukur nilai, uang juga berfungsi sebagai alat penimbun kekayaan dan sebagai komoditas yang sah-sah saja untuk diperjual-belikan.[6]

Pelaku Riba, Kufur!
Dengan meliat latar-belakang serta hakikat dan fungsi uang sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, pada gilirannya timbul suatu kesimpulan, bahwa pelaku riba adalah pelaku transaksi yang terjerat kekufuran. Namun demikian, makna kufur di sini bukan berarti menyimpang atau keluar dari agama Islam. Menurut al-Ghazali pelaku riba dikategorikan sebagai orang yang kufur terhadap nikmat Allah I serta telah bertindak zalim. Demikian ini disebabkan karena ia telah menggunakan sesuatu tidak sesuai dengan hikmah penciptaannya.
Seperti telah disinggung sebelumnya, diciptakannya uang adalah sebagai alat tukar dan pengukur nilai guna memudahkan umat manusia dalam bertransaksi. Uang bukanlah suatu komoditas yang bisa diperdagangkan. Oleh karena itu, jika seseorang menggunakannya bukan untuk tujuan transaksi, misalnya digunakan sebagai komoditas perdagangan dengan cara diperjual-belikan atau disewakan, maka itu berarti ia telah menyalahi fitrah penciptaan uang  itu sendiri. Sehingga sangatlah tepat jika ia digolongkan sebagai orang yang kufur terhadap nikmat Allah I.[7] walLâhu a’lamu bish shawâb.

catatan: Artikel ini pernah dipublikasikan oleh Buletin Istinbat, sebuah buletin terbitan Pondok Pesantren Sidogiri


[1] M.Ec., Dr. Muhammad Syafi’i Antonio dan Tim STEI Tazkia, Ekonomi Islam untuk Sekolah Lanjutan Atas, hal. 96
[2] Dalam hal ini al-Ghazali memang menggunakan kata “dinar” dan “dirham”. Sementara tema yang kita bahas tidak spesifik pada mata uang dinar dan dirham, tetapi juga mencakup pada uang logam dan uang kertas. Oleh karena itu, dalam pemhasan ini kami mengikuti pendapat ulama yang menyamakan uang logam dan uang kertas dengan emas dan perak. Penjelasan lebih lanjut mengenai perbedaan ulama menyangkut status uang kertas, dapat dilihat dalam (Mudhar Nizar al-‘Ani, Ahkâ Taghayyuril ‘Umlah an-Naqdiyyah wa atsariha fî Tasdîd al-Qarh, Jordan: Dar an-Nafaais. Cet: I, 1421 H.)
[3] Al-Ghazali, Abu Hamid, Ihyâ ‘Ulûmud Dîn, juz V, hal. 440 (maktabah asy-Syamilah al-Ishdar ats-Tsani).
[4] Al-Jauziyah, Muhammad Ibnu Qayyim, I’lâm al-Muwaqqi’în ‘an Rabbi al-‘Âlamîn, juz 14, hal. 104 (maktabah asy-Syamilah al-Ishdar ats-Tsani).
[5] Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun, juz I, hal. 215 (maktabah asy-Syamilah al-Ishdar ats-Tsani).
[6] Opcit. M.Ec., Dr. Muhammad Syafi’i Antonio dan Tim Penulis STEI Tazkia, hal.99
[7] Opcit. Al-Ghazali, Abu Hamid, Juz V, hal. 441

Tidak ada komentar:

Posting Komentar