Prolog
Riba merupakan
salah satu jenis transaksi yang keharamannya diketahui secara aksiomatis dalam agama (‘ulima min ad-dîni bidh dharûrah). Penjelasan tentang keharaman transaksi riba ini-salah satunya- terdapat dalam surat al-Baqarah [2]: 275 dan juga Hadis Nabi r riwayat Imam Muslim.
Sebagai transaksi yang keharamannya telah diketahui secara aksiomatis
dalam agama, maka tidak ada toleransi apapun yang dapat melegalesasi keharaman
tersebut. Bahkan, siapa saja yang tidak menerima keharaman ini, ia bisa difonis
kufur, alias keluar dari agama Islam.
Uniknya, Imam al-Ghazali menyatakan kufur bukan saja bagi mereka yang
menginkari keharaman transaksi riba. Akan tetapi beliau juga memfonis kufur
bagi siapa saja yang berani melakukan transaksi tersebut. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah: landasan apakah yang digunakan oleh al-Ghazali sehingga beliau memfonis kufur terhadap
pelaku riba? Serta kufur yang bagaimanakah yang dimaksud oleh al-Ghazali
dalam ungkapannya tersebut? Mari kita jawab pertanyaan ini.
Namun, sebelum kita sampai pada kesimpulan bahwa pelaku riba adalah kufur,
sejenak mari kita kembali pada pembahasan tentang hakikat dan fungsi uang. Demikian ini
agar kita betul-betul memahami kerangka dasar yang menopang tesis “pelaku riba
kufur”.
Latar-belakang Kemunculan Uang
Pada zaman
pra-barter manusia belum mengenal transaksi perdagangan. Kala itu tidak dikenal apa yang saat ini kita kenal dengan istilah
transaksi. Pada zaman itu setiap individu memenuhi kebutuhan hidupnya
masing-masing dalam bentuk dan jumlah yang sangat sederhana, sekadar memenuhi
kebutuhan primernya saja. Mereka makan, berpakaian, serta bertempat tingaal dari hasil tangan
mereka masing-masing atau melalui hasil swadaya.
Seiring
perjalanan waktu, populasi manusia terus bertambah. Pada gilirannya situasi ini
meningkatkan intensitas interaksi manusia serta meningkatnya kebutuhan. Sementara itu, pada saat yang sama, kebutuhan
individu tidak bisa dipenuhi sendiri-sendiri. Oleh karena itu, guna saling
melengkapi kebutuhan masing-masing, mereka membutuhkan transaksi dengan pihak lain. Kelak, transaksi pada periode ini dikenal dengan
istilah barter, yakni tukar-menukar barang dengan barang yang lain.
Ciri khas barter
adalah mencari orang yang memiliki barang yang dibutuhkan ketika transaksi akan
dilaksanakan. Demikian ini juga berlaku untuk pihak kedua. Artinya orang kedua
pun harus mau dan membutuhkan barang yang ditawarkan oleh pihak pertama.
Misalnya, nelayan ikan yang membutuhkan sayur harus mencari petani sayur yang
membutuhkan ikan. Demikian ini, dalam ilmu ekonomi dikenal sebagai double coincidence
of wants (baca: dua keinginan ganda yang saling bertemu).
Pada
perkembangan selanjutnya, setelah sekian lama hdiup dengan sistem transaksi
barter, persoalanpun muncul, antara lain: 1) keinginan ganda terhadap suatu
barang semakin langka sehingga menyulitkan orang-orang kala itu untuk melakukan
transaksi barter, 2) kebutuhan dan keragaman hasil produksi manusia semakin
meningkat. Demikian ini terjadi karena: pertama, kemajuan
teknologi produksi; kedua, kebutuhan manusia yang berbeda-beda dalam waktu yang bersamaan. Faktor inilah yang
melatar-belakangi umat manusia di sekitar abad 20 SM. menggunakan suatu logam
sebagai alat tukar. Dan logam inilah yang kemudian dikenal sebagai “uang”.[1]
Dari penjelasan
ini dapat dipahami bahwa diciptakannya uang adalah sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan umat manusia yang beragam, yang mana pada saat yang bersamaan
keragaman kebutuhan tersebut tidak bisa terpenuhi jika harus terpaku pada
sistem double coincidence of wants tadi. Jadi, dalam keadaan
seperti ini, diciptakan uang sebagai alat transaksi formal merupakan alasan
logis.
Hakikat & Fungsi Uang
Menurut
al-Ghazali, dinar dan dirham[2] merupakan dua
jenis batu yang tidak memiliki kegunaan (baca: manfaat) secara esensial. Namun demikian, dua jenis batu mulia ini menjadi kebutuhan
bagi banyak kalangan oleh karena umat manusia memiliki banyak sekali kebutuhan,
baik yang bersifat primer maupun yang bersifat sekunder.[3]
Hal serupa juga
dikemukakan oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyah. Menurutnya, alat tukar bukanlah
komoditas yang menjadi tujuan secara esensial, ia hanya suatu sarana yang
berfungsi mendapatkan komoditas atau jasa yang dibutuhkan oleh umat manusia.
Jika alat tukar menjadi komoditas yang menjadi tujuan secara esensial, maka
tatanan kehidupan umat manusia tidak akan berjalan stabil alias amburadul.[4]
Sebagaimana
al-Ghzali dan Ibnu Qayyim al-Jauzaiyah, Ibnu Khladun mengemukakan pendapat yang
sama. Ibnu Khaldun berpendapat bahwa emas dan perak berfungsi untuk mengukur
nilai setiap sesuatu yang berharga, baik barang atau jasa.[5]
Dari pendapat
tiga pakar ekonomi muslim ini dapat disimpulkan bahwa uang bukanlah suatu
komoditas yang menjadi tujuan sekaligus menjadi kebutuhan bagi umat manusia. Ia
hanya salah satu sarana yang mempermudah aktivitas ekonomi umat manusia dalam
rangka memenuhi kebutuhannya dan sekaligus menjadi penyeimbang antara dua
barang yang dipertukarkan di mana kadar dan nilainya tidak seimbang.
Dalam pandangan
Islam, setiap sesuatu yang berfungsi sebagai uang, hanya berfungsi sebagai alat
tukar dan satuan penghitung nilai. Ia bukan suatu komoditas yang dapat
diperjual-belikan dengan kelebihan bunga baik secara langsung atau tidak. Lebih
dari itu, uang tidak diperlukan secara esensial. Ia hanya diperlukan untuk
membeli barang lain sehingga kebutuhan umat manusia dapat terpenuhi. Jadi,
dalam Islam, uang hanya memiliki dua fungsi: 1) sebagai alat tukar (Medium
of exchange), dan 2) sebagai alat pengukur nilai (Unit of account).
Berbeda dengan
Islam, teori ekonomi modern menyatakan bahwa selain berfungsi sebagai alat
tukar dan alat pengukur nilai, uang juga berfungsi sebagai alat penimbun
kekayaan dan sebagai komoditas yang sah-sah saja untuk diperjual-belikan.[6]
Pelaku Riba, Kufur!
Dengan meliat latar-belakang serta hakikat dan fungsi uang sebagaimana
yang telah dijelaskan di atas, pada gilirannya timbul suatu kesimpulan, bahwa pelaku
riba adalah pelaku transaksi yang terjerat kekufuran. Namun demikian, makna
kufur di sini bukan berarti menyimpang atau keluar dari agama Islam. Menurut
al-Ghazali pelaku riba dikategorikan sebagai orang yang kufur terhadap nikmat
Allah I serta telah bertindak zalim. Demikian ini disebabkan karena ia telah menggunakan
sesuatu tidak sesuai dengan hikmah penciptaannya.
Seperti telah disinggung sebelumnya, diciptakannya uang adalah sebagai
alat tukar dan pengukur nilai guna memudahkan umat manusia dalam bertransaksi. Uang
bukanlah suatu komoditas yang bisa diperdagangkan. Oleh karena itu, jika
seseorang menggunakannya bukan untuk tujuan transaksi, misalnya digunakan
sebagai komoditas perdagangan dengan cara diperjual-belikan atau disewakan,
maka itu berarti ia telah menyalahi fitrah penciptaan uang itu sendiri. Sehingga sangatlah tepat jika ia
digolongkan sebagai orang yang kufur terhadap nikmat Allah I.[7] walLâhu a’lamu bish shawâb.
catatan: Artikel ini pernah dipublikasikan oleh Buletin Istinbat, sebuah buletin terbitan Pondok Pesantren Sidogiri
[1] M.Ec., Dr. Muhammad Syafi’i Antonio dan Tim STEI Tazkia, Ekonomi Islam
untuk Sekolah Lanjutan Atas, hal. 96
[2] Dalam
hal ini al-Ghazali memang menggunakan kata “dinar” dan “dirham”. Sementara tema yang kita
bahas tidak spesifik pada mata uang dinar dan dirham, tetapi juga mencakup pada
uang logam dan uang kertas. Oleh karena itu, dalam pemhasan ini kami mengikuti
pendapat ulama yang menyamakan uang logam dan uang kertas dengan emas dan
perak. Penjelasan lebih lanjut mengenai perbedaan ulama menyangkut status uang
kertas, dapat dilihat dalam (Mudhar Nizar al-‘Ani, Ahkâ Taghayyuril ‘Umlah
an-Naqdiyyah wa atsariha fî Tasdîd al-Qarh, Jordan: Dar an-Nafaais. Cet: I,
1421 H.)
[3] Al-Ghazali,
Abu Hamid, Ihyâ ‘Ulûmud Dîn, juz V, hal. 440 (maktabah
asy-Syamilah al-Ishdar ats-Tsani).
[4]
Al-Jauziyah, Muhammad Ibnu Qayyim, I’lâm al-Muwaqqi’în ‘an
Rabbi al-‘Âlamîn, juz 14, hal. 104 (maktabah asy-Syamilah al-Ishdar
ats-Tsani).
[5] Ibnu
Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun, juz I, hal. 215 (maktabah asy-Syamilah
al-Ishdar ats-Tsani).
[7] Opcit.
Al-Ghazali, Abu Hamid, Juz V, hal. 441
Tidak ada komentar:
Posting Komentar