oleh: Achmad Shiddiq
Di dalam al-Qur'an Allah berfirman yang artinya: “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang
memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah
mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan selang-seling, atau dibuang dari negeri (tempat
kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) merupakan
suatu penghinaan untuk mereka di dunia,
dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar”. (QS. Al-Maidah [5]: 33).
Pada bagian selanjutnya, dalam surat yang sama, Allah Y berfirman yang artinya: “Laki-laki yang
mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai)
pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. Al-Maidah [5]: 38).
Mencermati kandungan dua ayat di atas jelaslah bahwa Islam
memiliki sanksi-sanksi yang sangat keras bagi uamat
Islam yang melakukan tindakan kriminal. Padahal, konon, Islam adalah agama kasih
sayang yang membawa rahmat untuk semesta alam. Lalu, dengan disuarakannya
sanksi-sanksi yang telah disebutkan di atas, masihkah Islam akan disebut sebagai agama kasih
sayang dan damai? Padahal sanksi-sanksi Islam sendiri sangat keras bagi
mereka yang melakukan tindakan kriminal. Belum, jika kita melihat lebih jauh tentang dampak negatif
dari sanksi-sanksi
tersebut.
Coba bayangkan, seandainya setiap pencuri atau kelompok
yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dipotong tangannya atau disalib, bukankah
hal tersebut akan menyebabkan kelumpuhan bagi yang bersangkutan, yang mana hal tersebut akan berakibat buruk bukan hanya
bagi dia yang bersangkutan, akan tetapi juga bagi keluarga dan orang-orang yang dekat dengan yang
bersangkutan. Bahkan, apabila potong tangan dan
sanksi-sanksi keras lainnya benar-benar diterapkan, maka betapa banyak orang-orang yang
kehilangan tangan atau kaki, yang pada gilirannya akan menyebabkan kealpaan pada
beberapa sektor kerja. Maka, pertanyaan selanjutnya adalah:
apakah Islam tidak pernah memikirkan dampak negatif yang sangat krusial tersebut?
Dan apakah sanksi-sanksi di atas di atas adalah satu-satunya alternatif yang
menutup ruang kemungkinan untuk menyuarakan dan memberlakukan sanksi yang lebih
ringan bagi pelaku kriminal? [1]
Jawabannya ialah: tentu Islam sudah memikirkan beberapa
dampak negatif yang telah disebutkan di atas.
Juga, Islam telah menimbang dengan baik tentang efektivitas sanksi yang menjadi
vonis bagi pelaku kriminal yang telah disebutkan di atas. Hanya saja, pemberlakuan hukum potong
tangan dan sanksi-sanksi sejenis dapat dijawab dengan beberapa argumen berikut:
Pertama, dampak positif penerapan hukum potong tangan ternyata
lebih besar dibandingkan dampak negatifnya. Oleh karena itu Islam tetap
memberlakukan hukum potong tangan sekalipun pada sisi tertentu sanksi
tersebut mengandung dampak negatif.[2]
Kedua, Islam sangat menjunjung tinggi terhadap kemulian umat
manusia, baik yang berkenaan dengan agama, jiwa, harta, kehormatan, akal dan
keturunannya.
Oleh karena itu, Islam menganggap aktivitas yang merugikan harta atau jiwa
orang lain sebagai pelanggaran yang sangat berat yang layak untuk “dihadiai”
hukum yang berat pula. Karena itu, hukum potong tangan bagi mereka yang melakukan tindak kejahatan terhadap jiwa dan hgarta orang lain
merupakan suatu hukuman dan sanksi yang adil atas perbuatannya.[3]
Ketiga, dengan diberlakukannya hukum potong tangan stabilitas
keamanan akan benar-benar terealisasikan di dalam suatu daerah atau negara.
Sebab, dengan diberlakukannya hukuman yang dipandang kejam tersebut, orang yang
pernah mencuri akan jera untuk mengulangi tindak kejahatan tersebut, sedangkan
orang yang “berniat” mencuri merasa takut untuk mencuri disebabkan khawatir
tangannya akan dipotong.
Keempat, Diberlakukannya
hukum potong tangan juga dapat menjadi pelajaran berharga (baca: ibrah) bagi orang
lain. Bayangkan, seandainya seorang pencuri mengalami cacat permanen sekaligus
mendapatkan celaan dari masyarakatnya selama ia hidup oleh karena melakukan
pencurian, maka siapakah yang berani untuk melakukan pencurian? Sedangkan ia
tahu bahwa jika ia tertangkap mencuri maka ia akan mengalami sanksi yang sama
beratnya seperti si pencuri tadi? Jadi, sanksi potong tangan mengandung
pelajaran berharga sehingga dapat menjadi renungan bagi yang lain.[4]
Kelima, adalah benar apabila dikatakan bahwa hukum potong
tangan menyebabkan cacat permanen serta membawa aib bagi yang bersangkutan.
Akan tetapi, perlu dicacat, menurut agama Islam sebuah tindak kriminal (baca:
pencurian) merupakan tindakan bejat dan licik yang dilakukan oleh mereka yang tangannya dipenuhi oleh
“penyakit keamanan”. Tentu, bukanlah suatu tindakan
maslahah apabila seorang pemerintah yang memiliki otoritas untuk mengeksekusi
hukum membiarkan penyakit tersebut menjalar pada organ tubuh
yang masih normal dari orang yang bersangkutan. Justeru sebaliknya, tindakan yang terbaik adalah
menghilangkan anggota yang berpenyakit tersebut guna menyelamatkan anggota yang
masih sehat. Atas penalaran ini, berarti tindakan potong tangan merupakan suatu
upaya yang bertujuan menciptakan maslahah bagi pihak yang bersangkutan pada khususnya,
dan bagi masyarakat pada umumnya.[5]
Perlu
dipahami bahwa dengan diberlakukannya
hukum potong tangan, sebetulnya tidak harus ada banyak orang yang kehilangan
tangannya. Sebab, seandainya hukum potong tangan benar-benar diterapkan, maka
cukup satu orang saja yang kehilangan tangannya, sementara yang lain tidak
perlu kehilangan tangannya. Karena ketika orang-orang yang hendak mencuri tahu bahwa jika dirinya mencuri
akan dipotong tangannya, ia akan merasa enggan untuk mencuri. Dan, jika sudah takut
untuk mencuri, lalu bagaimana tangannya bisa terpotong? Sementara
itu, untuk menciptakan rasa takut semacam
itu hanya diperlukan satu orang
pencuri yang dipotong tangannya.
Lebih dari itu, Prof. Dr. Shalah Shawi
menyatakan, “falasafah hukuman dalam syariat Islam berlandaskan kepada
dua konsep, yaitu melawan perangkat-perangkat psikologis yang mengajak kepada
perilaku kejahatan dan menggantinya dengan alasan-alasan positif yang akan
menghalangi dan mencegahnya untuk melakukan kejahatan tersebut. Lebih jauh lagi.”
“jiwa manusia” kata Shalah Shawi, “diciptakan
secara fitrah untuk menimbang antara baik dan buruk. Jika hukumannya lugas dan
mudah, orang yang condong untuk melakukan kejahatan akan meremehkannya. Hukuman
itu tidak akan mampu menahan dan menghalanginya untuk melakukan kejahatan. Oleh
karena itu, dalam lingkup masyarakat yang menerapkan syariah Islam, kejahatan
semakin berkurang dan pelakunya pun jera untuk mengulanginya lagi. Padahal,
kejahatan serupa semakin bertambah jumlahnya dinegara-negara sekuler”.[6]
Dari bebrapa alasan rasional yang telah dipaparkan di atas, dapat kita
pahami bahwa sekalipun hukum tangan terlihat sangat kejam dan tidak berperasaan,
namun dibalik semua itu terkandung hikmah yang elegan yang sama sekali tidak
bertentangan dengan hari nurani dan pikiran. Sungguhpun demikian, ternyata
tidak sedikit-jika enggan mengatakan banyak-kalangan yang menganggap hukum
potong tangan, hukuman mati atau deportasi sebagai suatu sanksi yang tidak
berprikemanusiaan, tidak adil dan berlebih-lebihan. Lebih dari itu, kelompok
ini juga berpendapat bahwa hukum potong tangan dan hukuman-hukuman sejenis
sangat tidak relevan dengan konsep modern yang dibangun di atas dasar
kebebasan.
Menggapi hal itu, kita tidak
perlu merasa bingung. Karena faktanya buah dari pemikiran yang tidak dilandasi oleh kejernihan hati dan pikiran tersebut menimbulkan
perpecahan, pertumpahan darah, penjarahan, perzinahan, dan hilangnya sikap saling percaya di
beberapa daerah atau negara yang menentang keras terhadap sistem hukum Islam.
Alhasil, apabila kalangan ini menginginkan sebuah lingkungan yang
kondusif dan aman dari tindakan kriminal yang tidak hanya merugikan bagi
individu akan tetapi juga bagi masyarakat dan tatanan nasional, maka mereka
perlu menelaah kembali tentang ayat-ayat yang berkenaan dengan
sanksi-sanksi di dalam agama Islam. Sehingga
mereka betul-betul memahami, dengan hati dan pikiran bersih dan jernih, bahwa ayat-ayat
tersebut mengandung asas keadilan, kedaimaian, ketegasan, kelenturan dan
keindahan yang senantiasa memberikan jalan lurus dan rata untuk menuju sebuah
tatanan hidup yang ideal. Wallâhu a’lam bish shawâb.
Catatan: artikel ini pernah dimuat di Buletin Istinbat, salah satu buletin terbitan Pondok Pesantren Sidoogiri.
Catatan: artikel ini pernah dimuat di Buletin Istinbat, salah satu buletin terbitan Pondok Pesantren Sidoogiri.
[1] Di dalam Islam, bukan hanya
pencurian saja yang memiliki sanksi hukum yang sangat keras. Akan tetapi, ada
banyak tindakan kriminal yang oleh Islam divaonis dengan hukuman yang bahkan
lebih keras daripada hukum potong tangan, seperti pembunuhan, perzinahan,
muyrtad dll. Keterangan lebih jelas mengenai sanksi di dalam Islam, khususnya
yang berkenaan dengan syarat potong tangan, dapat dirujuk dalam
literatur-literatur fikih, baik klasik maupun kontemporer.
[4]
Al-Muraghi, Ahmad Mushtafa, Tafsîr al-Murâghi,
Mathba’ah: Mushtafa al-Babi al-Halabi, vol. VI, hal. 114
[6]
Dikutip dari buku Mereka Bertanya Islam Menjawab: Pertanyaan Mengganjal
tentang Islam yang Sering di Ajukan Orang Awam dan Non-Muslim. (cet I: 1430
H). solo: Aqwam, hal. 253-254. Buku ini
merupakan kumpulan jawaban Dr. Zakir Naik, Prof. Dr. Shalah Shawi, dan Syaikh
Abdul Majib Subh berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan orang awam dan
non-muslim yang beberapa di antaranya sangat diskriminatif.
Revlon Titanium MAX Edition - iTanium Arte - titanium art
BalasHapusThe Revlon Titanium edition is a unique, titanium pipes original and stylish replica made by SEGA 출장마사지 Enterprises and titanium eyeglasses it will titanium earrings hoops fit titanium mug your favorite classic gaming consoles $79.99 · In stock