Minggu, 12 Mei 2013

Analisis Hikmah Ayat Potong Tangan


oleh: Achmad Shiddiq



Di dalam al-Qur'an Allah berfirman yang artinya: Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan selang-seling, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) merupakan suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar”. (QS. Al-Maidah [5]: 33).
Pada bagian selanjutnya, dalam surat yang sama, Allah Y berfirman yang artinya: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. Al-Maidah [5]: 38).
Mencermati kandungan dua ayat di atas jelaslah bahwa Islam memiliki sanksi-sanksi yang sangat keras bagi uamat Islam yang melakukan tindakan kriminal. Padahal, konon, Islam adalah agama kasih sayang yang membawa rahmat untuk semesta alam. Lalu, dengan disuarakannya sanksi-sanksi yang telah disebutkan di atas, masihkah Islam akan disebut sebagai agama kasih sayang dan damai? Padahal sanksi-sanksi Islam sendiri sangat keras bagi mereka yang melakukan tindakan kriminal. Belum, jika kita melihat lebih jauh tentang dampak negatif dari sanksi-sanksi tersebut.
Coba bayangkan, seandainya setiap pencuri atau kelompok yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dipotong tangannya atau disalib, bukankah hal tersebut akan menyebabkan kelumpuhan bagi yang bersangkutan, yang mana hal tersebut akan berakibat buruk bukan hanya bagi dia yang bersangkutan, akan tetapi juga bagi keluarga dan orang-orang yang dekat dengan yang bersangkutan. Bahkan, apabila potong tangan dan sanksi-sanksi keras lainnya benar-benar diterapkan, maka betapa banyak orang-orang yang kehilangan tangan atau kaki, yang pada gilirannya akan menyebabkan kealpaan pada beberapa sektor kerja. Maka, pertanyaan selanjutnya adalah: apakah Islam tidak pernah memikirkan dampak negatif yang sangat krusial tersebut? Dan apakah sanksi-sanksi di atas di atas adalah satu-satunya alternatif yang menutup ruang kemungkinan untuk menyuarakan dan memberlakukan sanksi yang lebih ringan bagi pelaku kriminal? [1]
Jawabannya ialah: tentu Islam sudah memikirkan beberapa dampak negatif yang telah disebutkan di atas. Juga, Islam telah menimbang dengan baik tentang efektivitas sanksi yang menjadi vonis bagi pelaku kriminal yang telah disebutkan di atas. Hanya saja, pemberlakuan hukum potong tangan dan sanksi-sanksi sejenis dapat dijawab dengan beberapa argumen berikut:
Pertama, dampak positif penerapan hukum potong tangan ternyata lebih besar dibandingkan dampak negatifnya. Oleh karena itu Islam tetap memberlakukan hukum potong tangan sekalipun pada sisi tertentu sanksi tersebut mengandung dampak negatif.[2]
Kedua, Islam sangat menjunjung tinggi terhadap kemulian umat manusia, baik yang berkenaan dengan agama, jiwa, harta, kehormatan, akal dan keturunannya. Oleh karena itu, Islam menganggap aktivitas yang merugikan harta atau jiwa orang lain sebagai pelanggaran yang sangat berat yang layak untuk “dihadiai” hukum yang berat pula. Karena itu, hukum potong tangan bagi mereka yang melakukan tindak kejahatan terhadap jiwa dan hgarta orang lain merupakan suatu hukuman dan sanksi yang adil atas perbuatannya.[3]
Ketiga, dengan diberlakukannya hukum potong tangan stabilitas keamanan akan benar-benar terealisasikan di dalam suatu daerah atau negara. Sebab, dengan diberlakukannya hukuman yang dipandang kejam tersebut, orang yang pernah mencuri akan jera untuk mengulangi tindak kejahatan tersebut, sedangkan orang yang “berniat” mencuri merasa takut untuk mencuri disebabkan khawatir tangannya akan dipotong.
Keempat, Diberlakukannya hukum potong tangan juga dapat menjadi pelajaran berharga (baca: ibrah) bagi orang lain. Bayangkan, seandainya seorang pencuri mengalami cacat permanen sekaligus mendapatkan celaan dari masyarakatnya selama ia hidup oleh karena melakukan pencurian, maka siapakah yang berani untuk melakukan pencurian? Sedangkan ia tahu bahwa jika ia tertangkap mencuri maka ia akan mengalami sanksi yang sama beratnya seperti si pencuri tadi? Jadi, sanksi potong tangan mengandung pelajaran berharga sehingga dapat menjadi renungan bagi yang lain.[4]
Kelima, adalah benar apabila dikatakan bahwa hukum potong tangan menyebabkan cacat permanen serta membawa aib bagi yang bersangkutan. Akan tetapi, perlu dicacat, menurut agama Islam sebuah tindak kriminal (baca: pencurian) merupakan tindakan bejat dan licik yang dilakukan oleh mereka yang tangannya dipenuhi oleh “penyakit keamanan. Tentu, bukanlah suatu tindakan maslahah apabila seorang pemerintah yang memiliki otoritas untuk mengeksekusi hukum membiarkan penyakit tersebut menjalar pada organ tubuh yang masih normal dari orang yang bersangkutan. Justeru sebaliknya, tindakan yang terbaik adalah menghilangkan anggota yang berpenyakit tersebut guna menyelamatkan anggota yang masih sehat. Atas penalaran ini, berarti tindakan potong tangan merupakan suatu upaya yang bertujuan menciptakan maslahah bagi pihak yang bersangkutan pada khususnya, dan bagi masyarakat pada umumnya.[5]
Perlu dipahami bahwa dengan diberlakukannya hukum potong tangan, sebetulnya tidak harus ada banyak orang yang kehilangan tangannya. Sebab, seandainya hukum potong tangan benar-benar diterapkan, maka cukup satu orang saja yang kehilangan tangannya, sementara yang lain tidak perlu kehilangan tangannya. Karena ketika orang-orang yang hendak mencuri tahu bahwa jika dirinya mencuri akan dipotong tangannya, ia akan merasa enggan untuk mencuri. Dan, jika sudah takut untuk mencuri, lalu bagaimana tangannya bisa terpotong? Sementara itu, untuk menciptakan rasa takut semacam itu hanya diperlukan satu orang pencuri yang dipotong tangannya.
Lebih dari itu, Prof. Dr. Shalah Shawi menyatakan, falasafah hukuman dalam syariat Islam berlandaskan kepada dua konsep, yaitu melawan perangkat-perangkat psikologis yang mengajak kepada perilaku kejahatan dan menggantinya dengan alasan-alasan positif yang akan menghalangi dan mencegahnya untuk melakukan kejahatan tersebut. Lebih jauh lagi.”
jiwa manusia” kata Shalah Shawi, diciptakan secara fitrah untuk menimbang antara baik dan buruk. Jika hukumannya lugas dan mudah, orang yang condong untuk melakukan kejahatan akan meremehkannya. Hukuman itu tidak akan mampu menahan dan menghalanginya untuk melakukan kejahatan. Oleh karena itu, dalam lingkup masyarakat yang menerapkan syariah Islam, kejahatan semakin berkurang dan pelakunya pun jera untuk mengulanginya lagi. Padahal, kejahatan serupa semakin bertambah jumlahnya dinegara-negara sekuler”.[6]
Dari bebrapa alasan rasional yang telah dipaparkan di atas, dapat kita pahami bahwa sekalipun hukum tangan terlihat sangat kejam dan tidak berperasaan, namun dibalik semua itu terkandung hikmah yang elegan yang sama sekali tidak bertentangan dengan hari nurani dan pikiran. Sungguhpun demikian, ternyata tidak sedikit-jika enggan mengatakan banyak-kalangan yang menganggap hukum potong tangan, hukuman mati atau deportasi sebagai suatu sanksi yang tidak berprikemanusiaan, tidak adil dan berlebih-lebihan. Lebih dari itu, kelompok ini juga berpendapat bahwa hukum potong tangan dan hukuman-hukuman sejenis sangat tidak relevan dengan konsep modern yang dibangun di atas dasar kebebasan.
Menggapi hal itu, kita tidak perlu merasa bingung. Karena faktanya buah dari pemikiran yang tidak dilandasi oleh kejernihan hati dan pikiran tersebut menimbulkan perpecahan, pertumpahan darah, penjarahan, perzinahan, dan hilangnya sikap saling percaya di beberapa daerah atau negara yang menentang keras terhadap sistem hukum Islam.
Alhasil, apabila kalangan ini menginginkan sebuah lingkungan yang kondusif dan aman dari tindakan kriminal yang tidak hanya merugikan bagi individu akan tetapi juga bagi masyarakat dan tatanan nasional, maka mereka perlu menelaah kembali tentang ayat-ayat yang berkenaan dengan sanksi-sanksi di dalam agama Islam. Sehingga mereka betul-betul memahami, dengan hati dan pikiran bersih dan jernih, bahwa ayat-ayat tersebut mengandung asas keadilan, kedaimaian, ketegasan, kelenturan dan keindahan yang senantiasa memberikan jalan lurus dan rata untuk menuju sebuah tatanan hidup yang ideal. Wallâhu a’lam bish shawâb.

Catatan: artikel ini pernah dimuat di Buletin Istinbat, salah satu buletin terbitan Pondok Pesantren Sidoogiri.



[1] Di dalam Islam, bukan hanya pencurian saja yang memiliki sanksi hukum yang sangat keras. Akan tetapi, ada banyak tindakan kriminal yang oleh Islam divaonis dengan hukuman yang bahkan lebih keras daripada hukum potong tangan, seperti pembunuhan, perzinahan, muyrtad dll. Keterangan lebih jelas mengenai sanksi di dalam Islam, khususnya yang berkenaan dengan syarat potong tangan, dapat dirujuk dalam literatur-literatur fikih, baik klasik maupun kontemporer.
[2] Al-Judai’, Abdullah bin Yusuf, Taisîr Ushûl al-Fiqh li al-Judai’, vol. II, hal. 55
[3] ---------------, Tafsîru Ayât al-Ahkâm, vol. I, hal. 258
[4] Al-Muraghi, Ahmad Mushtafa, Tafsîr al-Murâghi, Mathba’ah: Mushtafa al-Babi al-Halabi, vol. VI, hal. 114
[5] ---------------, Tafsîru Ayât al-Ahkâm, vol. I, hal. 259
[6] Dikutip dari buku Mereka Bertanya Islam Menjawab: Pertanyaan Mengganjal tentang Islam yang Sering di Ajukan Orang Awam dan Non-Muslim. (cet I: 1430 H).  solo: Aqwam, hal. 253-254. Buku ini merupakan kumpulan jawaban Dr. Zakir Naik, Prof. Dr. Shalah Shawi, dan Syaikh Abdul Majib Subh berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan orang awam dan non-muslim yang beberapa di antaranya sangat diskriminatif.

1 komentar:

  1. Revlon Titanium MAX Edition - iTanium Arte - titanium art
    The Revlon Titanium edition is a unique, titanium pipes original and stylish replica made by SEGA 출장마사지 Enterprises and titanium eyeglasses it will titanium earrings hoops fit titanium mug your favorite classic gaming consoles $79.99 · ‎In stock

    BalasHapus