Kajian Pembuka
Para pengkaji teori
ushul fikih tentu tahu bahwa syariah terdiri dari dua demensi, yakni dimensi
lahir (yang lumrah disebut dengan hukum fikih) dan dimensi batin (yang lumrah
disebut dengan maqâshid asy-syarîah). Dimensi batin bertujuan
menciptakan maslahah dan menghilangkan mafsadah bagi semua elemen, baik
individu, masayarakat maupun negara. Dan untuk itu diperlukan adanya sebuah
wadah yang menampung dan sekaligus menyalurkan apa yang menjadi tujuan demensi
batin tersebut. Oleh karena itu, wadah yang menampung keberadaan demensi batin
haruslah sesuai dengan eksistensi demensi batin itu sendiri. Sehingga, dengan
demikian, tidak ada ketimpangan antara dimensi lahir dengan dimensi batin.
Namun masalahnya, masih
ada saja hukum fikih (yang menjadi wadah sekaligus penyalur dari tujuan batin)
yang hanya menekankan pada aspek lahiriyahnya saja, sementara tujuan hakiki yang
menopang eksistensi hukum itu sendiri nihil. Meskipun hal semacam ini boleh
dibilang wajar, karena titik tekan hukum fikih adalah sisi lahir, namun
demikian hal semacam ini sangat perlu disayangkan. Mengingat, keberadaan kulit
menjadi tak berarti jika tidak pas
dan sesuai dengan keberadaan “isi” yang menjadi dasar dari
kulit itu sendiri.
Dalam kasus
traknsaksi, ketimbangan kulit dan
isi ini dapat kita contohkan dengan bai’ al-‘înah. Dilihat
dari statusnya, bai’ al-‘înah merupakan salah satu jenis transaksi.
Namun demikian, tujuan dari bai’ al-‘înah itu sendiri sama sekali
bertentangan dengan tujuan transaksi. Sebab, bai’ al-‘înah hanya menjadi
batu loncatan atau medium untuk
melegalkan praktik riba yang jelas-jelas diharamkan.
Misalnya, Bapak Tomo
membutuhkan uang sebesar Rp. 2.000.000.00,- dan untuk itu Bapak Tomo mendatangi
Bapak Achmad dengan tujuan berhuntang. Selanjutnya, Bapak Achmad memberikan hutangan kepada Bapak
Tomo sebesar Rp. 2.000.000.00,- Nah, jika dalam kasus ini Bapak Achmad mengambil
keuntungan dari Bapak Tomo sebesar 500.000.00,- sehingga kelak, jika sudah tiba
tempo pembayaran, total uang yang dibayarkan oleh Bapak Tomo kepada Bapak
Achmad adalah 2.500.000.00,- maka tentu saja praktik semcam ini tidak dapat
dibenarkan oleh syariah. Sebab, praktik ini tergolong praktik riba hutang-piutang (baca; riba
qardh) yang sangat dikecam oleh
syariah. Nah, maka dari itu, agar tidak terjerumus dalam
praktik riba dan tetap mendapatkan keuntungan, maka Bapak Achmad menempuh cara
lain yang disebut dengan bai’ al-‘înah.
Definisi
Secara etemologis bai’
al-‘înah berarti pinjaman. Dalam termenologi fikih bai’ al-‘înah
berarti menjual barang secara kredit kemudian membelinya lagi secara tunai
dengan harga yang lebih murah dari harga penjualan. Bai’ al-‘înah juga
dapat di definisikan dengan membeli barang secara tunai dan menjualnya lagi
(kepada penjual pertama) secara kredit dengan harga yang lebih tinggi dari
harga pembeliaan. Menurut Hanabilah, transaksi dengan model yang kedua ini tidak termasuk kategori bai’ al-‘înah. Namun demikian, hukum transaksi
tersebut sama dengan bai’ al-‘înah.
Menurut Malikiyah, selain dua definisi yang telah
disebutkan di atas, bai’ al-‘înah dapat didefiniskan dengan membeli
barang secara tunai kepada seseorang (baca: penjual pertama) untuk dijual
kembali secara kredit kepada orang lain (pembeli kedua) dengan harga yang lebih
mahal dari harga pembeliaan. Kemudian, pembeli kedua menjual barang tersebut secara tunai
kepada penjual pertama dengan harga yang lebih murah dari harga pembeliannya
kepada pembeli pertama.[1]
Ilustrasi
Pertama, misalnya
Bapak Fulan menjual kendaraannya kepada Bapak Umar seharga Rp. 14.000.000
secara kredit. Selajnutnya, setelah kendaraan itu diserahkan, Bapak Fulan
membeli lagi kendaraan tersebut seharga Rp. 13.000.000 dibayar tunai. [2]
Kedua, Bapak Fulan membeli kendaran Bapak Ahmad secara tunai dengan harga Rp.
20.000.000. kemudian Bapak Fulan menjual kendaraan yang sama secara kredit
kepada Bapak Ahmad dengan harga Rp.22.000.000.
Ketiga, misalnya
Bapak Fulan menjual kendaraannya kepada Bapak Yanto seharga Rp. 20.000.000
secara kredit. Kemudian Bapak Yanto menjual kendaraan tersebut kepada Bapak
Sugiono seharga Rp. 18.000.000, dibayar tunai. Selanjutnya, Bapak Sugiono
menjual kendaraan tadi kepada Bapak Fulan seharga Rp. 20.000.000. [3]
Dari
ilustrasi di atas, maka jelaslah bahwa tujuan dari bai’ al-‘înah bukanlah
menjual atau membeli barang. Tetapi, bai’ al-‘înah hanya dimaksudkan sebagai sarana
untuk mendapatkan keuntungan yang tidak bisa dicapai dengan cara menghutangkan
modal.
Hukum
Ulama fikih
berbeda pendapat dalam menyikapi hukum bai’ al-‘înah. Menurut
Hanabilah hukum bai’ al-‘înah adalah haram dan tidak sah. Sebab, menurut
kelompok ini, bai’ al-‘înah merupakan kamuflase dari sebuah sistem yang
bertujuan melegalkan riba. Dalam menyikapi hukum bai’ al-‘înah, kalangan
Hanabilah berpedoman pada Hadis berikut:
“Dari
Abi Ishaq, dari isterinya, Al-Aliyah bin Aifa’ bin Syurahbil, ia berkata, “Aku
mendatangi Aisyah bersama budak ummu waladnya Zaid bin Arqam. Lalu budak Ummu
waladnya Zaid berkata, “Aku menjual budak laki-laki Zaid kepada Al-Atha seharga
8.00 dirham. Kemudian aku membeli budak itu (dari Al-Atha) seharga 6.00
dirham”. Lalu Aisyah menukas, “Betapa jeleknya apa yang kamu jual. Dan betapa
jeleknya apa yang kamu beli. Sampaikan kepada Zaid bin Arqam bahwa ia telah
membatalkan jihadnya bersama Rasulullah r,
kecuali dia bertaubat.” (HR. Al-Baihaqi).[4]
Kalangan Hanafiyah
berbeda pendapat mengenai hukum bai’ al-‘înah. Menurut Muhammad bin
al-Hasan asy-Syaibani hukum bai’ al-‘înah adalah haram. Sedangkan
menurut Abu Yusuf hukumnya boleh.[5] Perselisihan
ini terjadi di dalam bai’ al-‘înah yang dalam praktiknya hanya
melibatkan dua orang. Akan tetapi, jika di dalam praktiknya melibatkan tiga
orang, maka keduanya sepakat bahwa bai’ al-‘înah hukumnya boleh.
Menurut
asy-Syafi’iyah bai’ al-‘înah tidak termasuk praktek jual-beli yang
dilarang, baik dilakukan setelah menerima harga pada penjualan pertama atau
sebelumnya, baik transaksi tersebut sudah menjadi kebiasaan ataupun tidak. Akan
tetapi, menurut al-Ustadz Abu Ishaq al-Isfirayaini dan asy-Syaikh Abu Muhammad,
jika transaksi tersebut sudah menjadi kebiasaan, maka transaksi yang kedua
seolah-olah disyaratkan pada transaki pertama. Dengan demikian, maka transaksi
(baca: jual-beli) yang pertama hukumnya tidak sah. Alhasil, menurut madzhab
asy-Syafi’i bai’ al-‘înah tidak tergolong praktik jual-beli yang
diharamkan. Namun demikian, memeraktikkan bai’ al-‘înah hukumnya makruh.[6]
Menurut
madzhab Maliki (lihat model bai’ al-‘înah nomer 3) hukum bai’
al-‘înah adalah haram, dengan alasan bahwa bai’ al-‘înah menjadi
peluang untuk melakukan riba.[7] Dalam teori
ushul fikih, metode yang digunakan oleh Malikiyah ini dikenal dengan saddudz
dzarîah, sebuah
tindakan preventif yang diupayakan untuk menghindari sesuatu yang tidak
diinginkan.
Kesimpulan
Dari beberapa poin yang telah diuraikan
di atas dapat disimpulkan bahwa, secara lahiriyah bai’ al-‘înah termasuk
dalam kategori transaksi jual-beli. Hanya saja, ditinjau dari aspek batin, semangat
dan tujuan bai’ al-‘înah tidak jauh berbeda dengan praktik riba. Itulah
sebabnya mengapa tiga imam madzhab (selain asy-Syafi’i) cenderung mengharamkan
praktik tersebut. Sebab, pada dasarnya bai’ al-‘înah hanya bertujuan mendapatkan
keuntungan dari praktik riba hutang-piutang yang secara tegas dilarang oleh
agama. Pada intinya bai’ al-‘înah merupakan bagian dari hîlah yang diharamkan karena menjadi memberikan peluang untuk mengambil
riba.
Perlu dicatat, sekalipun menurut
kalangan syafi’iyah bai’ al-‘înah dihukumi sah namun makruh, maka perlu
dicatat bahwa makruh itu sendiri merupakan larangan di dalam syariah. Hanya
saja, sifat larangan tersebut tidak se-ekstream larangan dalam hukum haram.
Oleh karena itu, akan lebih baik jika kita tidak menggunakan pendapat
syafi’iyah tersebut.[8] Wallâhu a’lam bish-shawâb.
Achmad Siddiq
S.F/IstinbaT
[1] An-Nawawi, Zakariya Yahya bin Syaraf, Raudhah
ath-Thâlibin, vol. I, hal. 429. Muhammad Ulais, Minah al-Jalîl,
Bairut: Dar al-Fikr, vol. V, hal. 102. Cetakan I: 1409
H/1989 M. Abdul Hamid
Mahmud Thihmaz, vol. IV, hal.
29. Ibnu
Qudamah, Muwaffiquddin Abdullah, Al-Kâfi fî Fiqh Imam Ahmad bin Hanbal, vol. II, hal. 14
[4] Opcit. Ibnu Qudamah, Muwaffiquddin
Al-Maqdisi, vol II, hal. 16-17
[8] Opcit. Zuhaily, Wahbah, vol I, hal.
191